Beberapa waktu lalu, saat saya berselancar di YouTube untuk mencari ide membuat artikel, saya menemukan sebuah video yang membahas tentang pentingnya segera membuang air sabun setelah mencuci piring. Narasumber dalam video tersebut mengatakan bahwa air sabun bisa "basi" dalam waktu 12 jam. Seketika, pernyataan ini membuat saya berhenti sejenak dan berpikir: "Apakah benar sabun bisa basi? Bukankah sabun itu bahan pembersih?"
Pertanyaan itu terus menggelitik di kepala saya. Apa yang dimaksud dengan "basi" dalam konteks air sabun? Apakah karena busanya habis? Atau karena kandungan kimianya berubah? Tentu hal kecil ini dianggap hal yang sepele dan terkadang diabaikan terutama kita yang senang mencuci piring, akan tetapi jika betul air sabun tersebut "basi", maka ini bisa menjadi hal yang serius. Mengapa? Karena memungkinkan terdapat risiko air sabun tersebut tercemar oleh mikroorganisme seperti bakteri.
Oleh karena penjelasan tersebut, rasa penasaran saya menjadi tergelitik dan mendorong saya untuk mencari tahu lebih jauh supaya saya dapat membagikannya untuk kita semua.
Mari Kita Bahas
Penjelasan mengenai sabun cuci piring
Secara umum, sabun adalah zat pembersih yang bekerja dengan cara menurunkan tegangan permukaan air dan membantu melarutkan lemak serta kotoran. Sabun mengandung surfaktan, yaitu molekul aktif yang memiliki kepala hidrofilik (menyukai air) dan ekor hidrofobik (menolak air). Struktur ini memungkinkan sabun menangkap kotoran berminyak dan membawanya larut dalam air.
Sifat sabun yang mampu mengangkat lemak ini sangat efektif dalam membersihkan. Namun, sabun biasa, termasuk sabun cuci piring, tidak selalu mengandung bahan antibakteri aktif. Fungsinya lebih kepada menghilangkan kotoran fisik, bukan membunuh mikroorganisme secara menyeluruh.
Dalam kondisi awal, karakteristik sabun dalam botol relatif stabil. Zat kimia di dalamnya tidak mudah rusak atau terdegradasi karena pH-nya yang basa, adanya bahan pengawet dan umumnya dalam bentuk konsentrat. Tapi ketika sabun tersebut digunakan untuk mencuci piring, sabun tersebut pasti akan ditambahkan dengan air dengan tujuan agar sabun konsentrat tersebut dapat digunakan berkali-kali.
Kemudian, air sabun tersebut kita gunakan untuk mencuci dan setleah itu, air sabun tersebut sudah bercampur dengan sisa makanan, minyak, dan kotoran organik lainnya seperti lemak, gula, dan protein. Nah, inilah yang menjadi masalah utamanya, artinya saat kita sudah mencuci, pasti kita akan mencelupkan busa itu kembali ke dalam air sabun. Aktivitas ini yang menyebabkan adanya penumpukan kotoran organik tersebut
Penjelasan mengenai air sabun bekas
Air sabun bekas mencuci bukan lagi sekadar air sabun. Ia kini mengandung bahan organik yang menjadi makanan sempurna bagi mikroorganisme. Menurut penelitian Flores et al. (2017), lingkungan yang lembap dan kaya nutrisi seperti ini sangat mendukung pertumbuhan bakteri patogen, seperti Escherichia coli dan Salmonella. Dalam waktu 12 jam, koloni bakteri bisa berkembang pesat, bahkan mulai membentuk biofilm.
Biofilm adalah lapisan tipis mikroorganisme yang melekat di permukaan dan dilindungi oleh matriks yang mereka hasilkan sendiri. Biofilm ini membuat bakteri jauh lebih resisten terhadap pembersihan biasa. Gao et al. (2014) menjelaskan bahwa biofilm yang terbentuk pada permukaan alat makan atau tempat cuci dapat meningkatkan risiko kontaminasi silang ke makanan yang kita konsumsi.
Lantas, apakah menambahkan sabun baru ke dalam air sabun bekas bisa menyelesaikan masalah? Sayangnya, tidak. Menambahkan sabun baru hanya akan meningkatkan jumlah surfaktan, tetapi tidak menghilangkan kontaminasi biologis yang sudah berkembang. Bakteri yang sudah membentuk biofilm tetap bertahan, dan air tetap berpotensi menjadi sumber penyakit.