Selama lebaran ini, banyak sekali momen-momen yang tidak terduga bermunculan di media sosial. Mulai dari sebuah isu yang menyangkut dengan hukum, investor dan pengusaha yang ingin "kabur" ke vietnam, serta aksi yang umum dilakukan oleh para buruh, yaitu aksi mogok kerja.
Sebagai masyarakat yang tinggal di negara yang menjunjung asas demokrasi, tentu salah satu cara dalam menyuarakan aspirasi adalah dengan melakukan demonstrasi. Demonstrasi ditujukkan, ketika aspirasi dalam sekelompok kecil sudah dihiraukan saja, akhirnya mengumpulkan sekelompok orang yang memiliki sudut pandang dan pendapat yang sama mengenai aspirasi yang ingin mereka utarakan.
Menariknya, kegiatan ini dilakukan dalam berbagai cara, seperti turun ke jalanan, melakukan aksi seni sebagai bentuk "menumpahkan" aspirasi, menggunakan orasi, dan bahkan sampai melakukan mogok kerja. Tentu, kegiatan demonstrasi seperti ini, akan mengorbankan waktu yang digunakan, bahkan hingga mengorbankan produktivitas dalam melakukan pekerjaan sehari-hari.
Setiap hal yang kita lakukan, tentu ada harga yang harus dibayar. Tetapi, bagaimana jika sebuah demonstrasi ini berujung pada kegiatan mogok kerja yang sengaja dilakukan oleh para pekerja di sebuah perusahaan tertentu dengan tujuan untuk memberitakan "hak-hak" yang seharusnya mereka dapatkan?
Artikel ini menurut saya agak senstif untuk dibahas, namun saya yakin dari pembahasan ini bisa menjadi ruang terbuka untuk para pekerja yang ingin menuntut haknya sebagai pejuang rupiah, sama seperti saya. Pembahasan ini akan melibatkan dua sudut pandang, yaitu para pekerja dan pemberi usaha (owner). Mari kita mulai.
Mari Kita Bedah
Ilustrasi Pekerja | Sumebr gambar: Jon Tyson/unsplash

Sudut Pandang Pekerja
Sebagai sudut pandang pekerja, saya memahami bahwa kami sebagai para pekerja tentu saja dilindungi oleh hukum. Termasuk hak kami sebagai penerima upah, tentu kesejahteraan kami harus diperhatikan, dari pemenuhan tunjangan kesehatan (melalui asuransi kesehatan), keselamatan kerja, gaji yang sesuai, dan lingkungan pekerjaan yang baik.Â
Bahkan, termasuk dalam pengembangan kami seperti pengembangan kemampuan, keterampilan dalam bekerja (people development) itu juga sudah menjadi tanggung jawab perusahaan. Semua ini sudah tercantum dalam UU Cipta Kerja no 6 tahun 2023 dan perwakilan perusahaan melalui HRD dan pemilik usaha tentu perlu memahami mengenai undang-undang tersebut.
Tentu saja, apabila ada hak-hak kami yang tidak dilaksanakan dengan baik, maka kami akan menyampaikan aspirasi dengan musyawarah atau dengan melakukan demonstrasi. Kami hanya ingin diperlakukan dengan baik dan kesejahteraan kami dapat dipenuhi dengan baik.
Kurang lebih seperti itu, dari sudut pandang pekerja secara umum. Tentu saya juga pernah merasakan dan memahami hal tersebut, setelah berkomunikasi dengan para pekerja lapangan dan berdasarkan pendapat umum yang diutarakan melalui aksi demonstrasi tersebut. Meskipun demikian, saya masih memikirkan tentang aksi "mogok kerja" yang dilakukan sebagai salah satu bentuk protes.
Hal tersebut, pasti dipilih karena bentuk kekecewaan dan tidak ingin bekerja atau memberikan profit kepada pemilik usaha, agar perusahaan tersebut bangkrut atau menjadi ancaman dengan pemikiran "tanpa kami, kalian tidak bisa berbuat apa-apa".