Mohon tunggu...
P.Herman Baeha
P.Herman Baeha Mohon Tunggu... -

Pemerhati hidup keagamaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

FOO: Flight Operasional Officer

7 Januari 2015   03:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:40 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jatuhnya pesawat Air Asia Minggu pagi 28 Desember 2014, membuat kita semua berduka. Duka yang dirasakan oleh keluarga korban adalah duka kita juga. Karena sangat dalam dan perihnya duka yang dialami, semua kita berharap agar kejadian tersebut jangan terulang lagi.

Walau kecelakaan pesawat sering terjadi namun tidak membuat masyarakat berhenti menggunakan sarana transportasi ini. Semakin hari malah semakin bertambah. Lihat saja Bandara Sukarno Hatta, yang sudah sangat padat sehingga Pelud Halim Perdana Kusuma turut dibuka untuk penerbangan sipil. Kalau kecelakaan itu terus terjadi seakan setiap naik pesawat berarti siap-siap menyerahkan diri kepada maut. Bunuh diri tapi tidak oleh tangan sendiri. Sangat menakutkan, bukan?

Di Negara kita setiap ada kecelakaan pesawat, semua kebakaran jenggot. Dan mencoba berusaha mencari apa dan siapa yang bisa di jadikan kambing hitam. Setelah menemukan, maka semua seakan terjawab dan selesai sudah. Black box, yang sering selalu amat susah ditemukan seakan satu-satunya harapan untuk menemukan kambing hitam itu. Penantian isi black box, kadang menjadi aspirin yang ditawarkan agar duka keluarga korban tidak menjurus kearah sakit jiwa.

Terlepas dari awan kolombunimus, hasil dari “kebakaran jenggot” para pengambil keputusan seputar bisnis penerbangan itu, khusus kasus Air Asia QZ8501, terdengar dua “pelanggaran”. Pertama, jadwal Air Asia Surabaya-Singapure untuk hari minggu tidak ada. Lho, lalu kenapa pesawat itu bisa terbang? Kedua, petugas FOO yang tidak menjalankan tugas sesuai dengan SOP?

Saya tertarik menyoal peraturan standar keselamatan penerbangan sebagaimana di tulis kompas senin, 5 Januari 2015. Intinya bahwa Petugas Operasional Penerbangan (FOO) punya kewenangan preogratip untuk mengizinkan sebuah pesawat terbang atau tidak. Dan pilot patuh 1000% pada FOO ini. Di bandara-bandara besar FOO ini barangkali bisa dikatakan tersedia cukup. Kalau tidak menjalankan tugas sesuai SOP itu lain persoalan. Yang saya soal sebenarnya adalah di bandara-bandara kecil, yang jumlahnya lebih banyak ketimbang bandara besar karena kita negara kepulauan.

Contoh kasus. Saya sering ke Pulau Nias. Dari Kualanamu (dulu Polonia) Medan menuju pelabuhan Binaka Gunung Sitoli Nias ditempuh kurang lebih satu jam. Sekarang dengan pesawat Wings Air 3 sampai 4 kali sehari. Dulu ada Merpati, Riau Airline, SMAC, yang sekarang nasib pesawat-pesawat itu mati suri melayani rute Medan-Nias. Saya tidak tahu dan memang tidak pernah melihat ada FOO di Binaka yang membriefing pilot sebelum terbang kembali ke Medan. Ruang untuk pilot istirahat sejenak menghirup udara segar di Bandara tidak ada. Bahkan pesawat yang kadang hanya menurunkan dan menaikkan penumpang dengan waktu berhenti 15 sampai dengan 20 menit, pilot dan co-pilot hanya menunggu di dalam pesawat.

Demikian pula kalau penerbangan terakhir dari Medan ke Binaka. Pesawat bersama pilot dan pramugari menginap di salah satu hotel di Gunung Sitoli. Besok pagi baru kembali ke Medan. Pertanyaannya, ketika berangkat dari Binaka siapa FOO nya. Atau cukup dengan informasi cuaca dari FOO Kualanamu yang didengar lewat percakapan telepon? Walahualam! Yang jelas beberapa kali mengalami, baik dari Medan dan sebaliknya sering pesawat menubruk gumpalan-gumpalan awan yang tebal, pesawat bergetar sehingga penumpang berteriak dan muka pada pucat. Atau kalau menabrak gumpalan awan yang tebal itu sayap pesawat berbunyi seperti ke jepit, jantung pun seperti mau copot. Pada hal pesawat membawa nyawa manusia 70-80 orang.

Memang sampai sekarang belum ada kejadian pesawat jatuh pada penerbangan Medan-Gunung Sitoli. Yang terjadi pesawatnya kembali ke landasan walau sudah tiga perempat perjalanan karena cuaca yang sangat buruk. Tapi apakah harus menunggu jatuhnya korban baru kembali kebakaran jenggot? Saya tidak tahu bandara-bandara kecil di Negara kita ini apakah sama seperti yang saya ceritakan dengan kondisi bandara Binaka Gunung Sitoli, atau penerbangan Medan-Nias pulang pergi?

Harapan kita kepada pak Menteri, pemberlakuan Standar Keselamatan Penerbangan tidak hanya focus, sibuk berbenah dan terjamin untuk bandara-bandara besar di Indonesia. Di bandara-bandara kecil bapak, di tanah air kita mengangkasa ribuan nyawa rakyat Indonesia setiap hari. Janganlah nyawa mereka hilang sia-sia!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun