Mohon tunggu...
Badrul Arifin
Badrul Arifin Mohon Tunggu... Guru - Santri

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

New Normal dan New Problem Pesantren

5 Juni 2020   07:56 Diperbarui: 5 Juni 2020   17:00 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabupaten Malang resmi memberlakukan aturan “Tatanan Normal Baru” (New Normal) sejak diterbitkanya Perbup Nomor 20 tertanggal 29 Mei 2020. Namun, sampai tulisan ini dirilis, pemerintah pusat belum memberlakukannya sekala nasional. Belakangan ini, pemerintah, akademisi, dan paraktisi sangat gencar menggaungkan serta mendisikusikan konsep New Normal, setelah bangsa Indonesia yang tipe masyarkatnya komunitarian, benar-benar direpotkan karena terserimpung berbagai macam aturan dan pembatasan, mulai dari diterbitkannya Maklumat Kapolri pada pertengahan bulan maret lalu, hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada daerah-daerah tertentu.

Kecemasan dan kekecewaan bercampur karena aturan ini. Bagaimana tidak kecewa, masyarakat dilarang mengadakan kegiatan dengan cara mengumpulkan banyak orang. Sehingga, berbagai macam acara dan resepsi yang sudah dirancang sedemikian rupa jauh-jauh hari sebelumnya, harus rela ditunda, bahkan ditiadakan. Alasan Polri cukup sederhana dan masuk akal, yaitu mengutamakan keselamatan rakyat dengan berpijak pada sebuah adagium hukum yang diungkapkan oleh filsuf Romawi kuno, Marcus Tullius Cicero; “Salus Populi Suprema Lex Esto” (keselematan rakyat merupakan hukum tertinggi). Dan pada akhirnya, seluruh masyarakat memaklumi aturan itu.

Belakangan, muncul hipotesis, apakah virus ini benar-benar menular cepat antarmanusia (human to human transmission) sebagai pandemi, atau justru konsiprasi dengan berlatar belakang bisnis yang diracik sedemikian rupa, oleh elit global. Dugaan sementara ini, muncul karena situasi yang semakin tidak menentu, disebabkan rasa kekhawatiran dan kecemasan. Situasi ini, sempat memicu terjadinya anakronisme persepektif antarpemuka agama dan saintis dengan membenturkan konsep teologis dan sains.

Website Covid-19.go.id dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 selalu muncul di beranda utama kita tiap kali membuka media sosial sampai situs web berbagi video (youtube), tanpa perlu repot-repot mencari beritanya dengan mengetik kata kunci di mesin pencarian Google. Setiap hari, situs tersebut akan mengupdate secara real time jumlah pasien yang positif, sembuh, hingga yang meninggal dunia.

Baik, sejenak kita lupakan itu, dan fokus pada konsep “Tatanan Normal Baru” (New Normal) yang nyatanya sudah berlaku di Kabupaten Malang.

Muncul pro-kontra diberbagai lapisan masyarakat dengan kebijakan tatanan normal baru ini, baik dari kalangan akademisi, politisi, sampai pegiat organisasi. Secara khusus, Ketua Umum GP Ansor, Gus Yaqut, dengan “lantang” mengkritik kebijakan New Normal, dengan alasan; aturan ini berpotensi merugikan pesantren. Sebab, physical distancing akan sulit diterapkan. Kita tahu, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang para santrinya tinggal bersama kyai dan hidup berdampingan satu sama lain. Rata-rata dalam satu ruang asrama berukuran sedang, dihuni oleh lima belas sampai dua puluh santri.

Pimpinan Asosiasi Pesantren Indonesia atau dikenal dengan Rābitah Ma’āhid Islāmiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU), juga mengambil sikap terkait kebijakan New Normal ini dengan membuat Press Release. Publikasi Informasi itu, berupa surat resmi organisasi RMI-NU. Ada tiga rekomendasi untuk dilakukan pemerintah baik pusat atau daerah. Jika rekomendasi itu tidak diindahkan oleh pemerintah, RMI menganjurkan pesantren di Indonesia untuk memperpanjang masa belajar di rumah. Tiga rekomendasi itu yaitu:

1. Kebijakan pemerintah yang konkret dan berpihak pada pesantren sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam menjaga dari resiko penyebaran Covid-19.

2. Dukungan fasilitas kesehatan untuk pemenuhan pelaksanaan protokol kesehatan, seperti rapid test, hand sanitizer, akses pengobatan dan tenaga ahli kesehatan.

3. Dukungan sarana dan fasilitas pendidikan meliputi fasilitas pembelajaran online bagi santri yang belum bisa kembali ke pesantren dan biaya pendidikan (syahriyah/SPP dan kitab) bagi santri yang terdampak secara ekonomi.

Bentuk perhatian RMI-NU ini, tidak lain agar pemerintah menjamin dan ikut serta memastikan kesehatan warga pesantren. Sebab, panduan yang dibuat oleh pemerintah belum secara spesifik mengatur pelaksanaan New Normal di pesantren. Sementara ini, Kemenag masih dianggap “kaku” dalam membuat protokol kesehatan santri dan cendrung kontratdiktif dengan kehidupan pesantren, mulai dari aturan saat santri kembali maupun sesampainya di pesantren. Pemerintah harus benar-benar “memeras otak” dan tidak boleh mengaggap remeh-temeh jika New Normal ini harus ditrapkan di lingkungan pesantren yang jumlahnya tidak sedikit, sebagai wujud hadirnya negara dalam melindungi semua lapisan masyarakat.

Pada dekade terakhir, secara kuantitas, jumlah pesantren meningkat sangat signifikan. Data statistik menunjukan, jumlah pesantren di Indonesia tidak kurang dari 28.000 pesantren, dengan jumlah santri lebih dari empat juta jiwa. Di Kabupaten Malang sendiri, yang tercatat di Kementerian Agama, terdapat lebih dari 600 pesantren. Gondanglegi menjadi kecamatan tertinggi dengan jumlah 101 pesantren. Desa Ganjaran yang merupakan tempat saya lahir beberapa tahun lalu mendapat julukan sebagai “Desa Santri” karena di desa ini terdapat lebih dari 20 pesantren. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit bukan?.

Terlepas dari itu, PWNU Jawa Timur menyerahkan sepenuhnya pada masing-masing pemangku pesantren, antara memperpanjang belajar santri di rumah atau memilih opsi mengembalikan santri ke pesantren dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Oleh karena pesantren dirasa masih terkatung-katung dengan kebijakan New Normal, pesantren yang menghendaki santri kembali ke pondok, harus membuat surat resmi berupa edaran atau maklumat sebagai pijakan tertulis saat proses kedatangan santri maupun saat santri sudah tinggal di pesantren.

Pada perkembanganya, Pemda Jatim mencanangkan “Pesantren Tangguh” dengan mengadopsi “Kampung Tangguh” yang sudah dilaksanakan di Malang Raya saat PSBB beberapa waktu yang lalu sebagai role model. Selain itu, formulasi New Normal khusus di lingkungan pesantren, masih dalam tahap finalisasi setelah melakukan beberapa pertemuan dengan para kiai. Kabupaten Malang sendiri akan menyiapkan alat rapid test bagi pesantren yang akan mengembalikan para santrinya. Berbagai jenis bantuan juga sedang disiapkan oleh Daerah Tingkat (Dati) I, maupun Dati tingkat II.

Namun, semua itu belum dapat menjawab problematika pemberlakuan New Normal  di pesantren, oleh karena satu alasan, yaitu; physical distancing. Pada intinnya, problem itu bukan terletak hanya pada saat teknis santri proses pengembalian santri, lebih dari itu, bagaimana cara memberlakukan New Normal saat semua santri melaksanakan berbagai macam aktifitas saat berada di pesantren tanpa ada sedikitpun celah pengecualian dalam memberlakukan physical distancing.

Terlepas dari semua itu, pesantren masih memiliki problem internal. Karena secara garis besar, ada dua tipologi pesantren. Pertama, pesantren yang semua kegiatan dan agenda akademiknya berpedoman pada kalender hijriyah, biasanya ini diberlakukan pada pesantren salaf. Kedua, Pesantren yang mengikuti kalender formal atau pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, yang biasanya ini diberlakukan bagi pesantren yang memiliki pendidikan formal atau pesantren modern. Kedua tipologi pesantren ini, sama-sama meiliki problem yang berbeda. Pesantren salaf, yang mematok 15 Syawal sebagai tanggal kembalinya santri, harus mempersiapkan seperangkat rencana dan sarana dalam melaksanakan New Normal di lingkungan pesantren. Kemudian, pesantren yang berpijak pada kelender pendidikan formal, secara praktis harus menunda santri kembali ke pesantren sampai pertengahan bulan juli mendatang. Sebab sampai saat ini, Kementerian Agama dan Kementrian Pendidikan terus memperpanjang pemberlakukan belajar secara daring. Oleh karenanya, pesantren harus mempersiapkan media pendukung untuk melaksanakan aktifitas tersebut. Jika tidak, santri akan merasa jenuh karena waktu kosong pada jam sekolah di pesantren.

Pertanyaanya, sampai kapan New Normal ini akan menjadi New Problem bagi pesantren?. Tentu yang dapat menjawab pertanyaan itu adalah regulasi khusus dengan formuliasi yang brilian dari pemerintah dengan berpedoman pada aspirasi para santri dan kiai. Nah, ini layak kita tunggu. Jangan sampai, regulasi itu menjadi sebuah distorsi tidak rasional  yang dianggap “radikal” bagi kaum sarungan.

Pesantren tidak bisa dianggap sebelah mata, karena pesantren menjadi salah satu pilar penting yang sangat berjasa pada negara, mulai sebelum merdeka sampai saat ini, pesantren menjadi yang terdepan dalam mendidik karakter bangsa. []

img-20200330-wa0043-5ed999bbd541df78e3364aa5.jpg
img-20200330-wa0043-5ed999bbd541df78e3364aa5.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun