Mohon tunggu...
husam al muadzi
husam al muadzi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa SI Pend. Bahasa Inggris UNJ

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemuda: Utopia Zaman

1 Agustus 2014   22:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:39 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

1 Agustus 2014/5 Syawal 1435 H

Dalam definisinya “Pemuda” tidak mempunyai definisi yang baku, karena definisi tersebut berkembang sesuai dengan zamannya dan siapapun berhak mendefinisikannya sesuai versi masing-masing. Banyak ahli sosiolog Barat menyandingkan definisi “pemuda” dengan “remaja” yaitu suatu jenjang kehidupan dimana manusia beralih dari masa kanak-kanak ke tingkat dewasa yang lebih tinggi. Disana digambarkan bahwa pemuda identik dengan kata labil, mental yang belum matang, atau digambarkan hanya dalam kematangan bilogis saja (pubertas). Namun dalam peradaban Timur Tengah (Islam), tidak memaknai dengan se-simple itu, pemuda dalam kata lain disebut “Asy-Shabab” yaitu dimana sesorang yang mental, spiritual serta pemikiranya sudah sangat matang, mulai dari pengelolaan pribadi, keluarga hingga umat dalam segala bidang. Secara umum pemuda juga dikenal sebagai manusia dengan semangat menggelora, hati dan pikiran yang masih bersih dari racun kepentingan serta seseorang yang pada umumnya memiliki fisik yang kuat.

Pemuda adalah salah satu anak zaman dari sekian milyar manusia di bumi. Mereka pulalah yang menjadi episentrum (pusat) perubahan sebuah peradaban, terlepas apakah peradaban itu pada puncak kegemilangannya atau peradaban tersebut berada pada ceruk terdalam jurang keterpurukan. Pemuda adalah pewaris perubahan,  merekalah anasir yang mendorong menggeliatnya sebuah peradaban. Dalam sejarah dunia, khususnya sejarah Islam mencatat bahwa pemuda menjadi poros penting perjuangan. Kita saksikan bagaimana kemudian peradaban Islam muncul menggantikan peradaban sebelumnya, dalam setiap fase kegemilangan zamannya selalu menghadirkan sosok muda yang menjadi motornya. Pada fase awal kebangkitannya, peradaban Islam, banyak disokong oleh para sahabat muda di mana Ali bin Abi Thalib sebagai lokomotifnya. Pada fase penaklukan muncul Usamah bin Zaid yang pada usia 20 tahun menjadi panglima perang memimpin ribuan pasukan termasuk para sahabat senior sekelas Abu Bakar Asy-Shidiq dan Umar bin Khattab radiallohu‘anhum, kemudian fase setelahnya pada era penaklukan, muncul Thariq bin Ziyad yang pada usia 30 tahun memimpin pasukan muslim menaklukkan Andalusia. Pada fase zaman tabi’ut tabiin muncul Umar bin Abdul Aziz, sosok muda yang berhasil dalam memimpin di masanya, Ia mampu merubah tradisi Daulat Bani Umayyah yang rendah yang telah berlalu selama 60 tahun, menjadi masa pemerintahan yang indah, baik, adil, dan sejahtera yang mirip dengan masa Rasulullah Saw

Di lain pihak, Indonesia juga menelurkan embrio gerakan pemuda yang tak kalah hebatnya.Ketika bicara tentang peradaban nusantara, tak elok bila kita tidak menceritakan tentang peran Gajah Mada, seorang patih kerajaan Majapahit yang fenomenal dengan ikrar Sumpah Palapa-nya dan telah didaulat oleh para ahli sejarah sebagai pemimpin yang telah berhasil menyatukan nusantara. Gajah Mada pada usia 19 tahun menjadi komandan pasukan elit keamanan istana dan kemudian menjadi Patih di Keresidenan Kediri serta puncaknya di usia 34 tahun menjadi Patih Kerajaan Majapahit, saat pelantikan di usia 34 tahun itulah Gajah Mada berikrar untuk menyatukan nusantara dalam ikrar Sumpah Palapa. Kita melangkah ke zaman setelahnya di era abad 19 ketika nusantara ini berusaha meraih identitasnya sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, di tahun 1928 sekelompok pemuda dari seluruh penjuru nusantara kembali mengulang ikrar Gajah Mada yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Sebagai momentum satu gerakan nasional Indonesia.

Berikut ini juga bermunculan pada zaman pergerakan yaitu Jenderal Besar Soedirman. Namun sebagian dari kita tidak banyak yang mengetahui bahwa beliau juga berjuang dalam usia yang cukup muda. Beliau telah menjadi panglima perang di usia 27 tahun dan diangkat menjadi Jenderal besar pada usia 31 tahun. Fase zaman berikutnya semakin menguatkan peran serta kaum intelektual muda dalam sejarah peradaban nusantara yang bertransformasi dalam sebuah negara yang berdaulat, Republik Indonesia, sebut saja eksponen mahasiswa angkatan 66 yang berhasil menumbangkan kekuasaan orde lama, kemudian eksponen mahasiswa angkatan 74 yang dikenal dengan peristiwa Malari yang muncul mengemuka dalam rangka mengoreksi kebijakan penguasa. Serta yang terakhir adalah eksponen mahasiswa angkatan 98 yang berhasil menggulingkan kekuasaan orde baru, namun saya yakin peristiwa sejarah yang dikenang dengan sebutan era Reformasi akan terus berlanjut dengan letupan-letupan sejarah lainnya yang dinisiasi oleh peran serta pemuda.

Dan hari ini terlihat pemuda sudah lupa bagaimana sejarah peradaban ini berawal. Pemuda sekarang justru apatis akan pergerakan yang dahulu pernah membesarkan nama mereka sebagai hakekat pemuda itu sendiri. Hedonisme, Liberalisme, Humanisme dan isme-isme lain sudah menjadi soko guru pemuda saat ini. Lalu, apakah kegemilangan itu hanya sekedar utopia semata? Maka kita sendiri (pemuda) yang harus menjawabnya. Mati berkalang tanah, atau mati dengan sejarah perubahan.

Oleh: Husam Badar Al Muadzi (Kadept PUSGERAK BASIS FBS UNJ)

-Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Jakarta-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun