Mohon tunggu...
Ganjar Wicaksono
Ganjar Wicaksono Mohon Tunggu... Guru - Guru PJOK di Endrakila

Pembaca buku dan penikmat kopi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kekerasan Simbolik dalam Olahraga

3 September 2019   16:55 Diperbarui: 31 Mei 2020   00:27 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Untuk memahami umpatan seperti yang telah saya sebut di awal, kita harus kembali menelusuri sejarah olahraga itu sendiri. Olahraga di jaman dahulu tak lepas dari ritus, dalam masayarakat Yunani kuno di mana olimpiade kuno diperkenalkan, olimpiade adalah sebuah ritus yang dilakukan sebagai persembahan untuk dewa Zeus. Seperti yang kita ketahui pada awalnya olimpide di Yunani kuno tak memperkenankan perempuan untuk melihat apalagi ikut terlibat di dalamnya. 

Dalam praktek olahraga di jaman dahulu, olahraga selalu berkaitan dengan virilitas (kejantanan), olahraga yang keras adalah simbol virilitas. Dalam buku "Kekerasan Simbolik", Bourdieu menjelaskan bahwa laki-laki dengan visi androsentrisnya akan  menunjukkan virilitasnya dengan melakukan hal-hal ektrem untuk menunjukkan virilitasnya agar tak tersingkir dari dunia laki-laki. 

Dari sejarah Olimpiade kuno kita sedikit banyak mengetahui bahwa olahraga pada awalnya adalah sebuah ritus untuk dewa Zeus yang maskulin. Maka dari itu perempuan yang feminis tidak dipebolehkan melihat apalagi berpartisipasi dalam olahraga yang merupakan ritual maskulin--ajang menunjukkan virilitas. 

Lantas bagaimana memahami umpatan, "kalau gak bisa lari lebih cepat pakai saja rok." Dalam masyarakat Yunani kuno visi androsentris--dunia berpusat pada laki-laki--sudah berkembang, umpatan semacam itu biasa muncul ketika laki-laki tak mampu melakukan hal-hal yang dilakukan untuk menunjukkan virilitas. Hal ini dapat menjelaskan bahwa dalam masyarakat Yunani kuno perempuan adalah gender yang tertindas, subordinat. Tidak ada hal yang lebih memalukan bagi seorang lelaki selain diolok-olok mirip perempuan dan keluar dari lingkaran laki-laki--lingkaran maskulin--kehilangan virilitasnya. Sebagai tambahan, dalam masyarakat Yunani kuno laki-laki yang menjadi pelacur laki-laki menempati kasta terendah dalam masyarakat, hal ini karena pelacur laki-laki tersebut dianggap telah keluar dari lingkaran maskulin dan menjadi mirip perempuan. Umpatan semacam itu juga berarti, perempuan sebagai gender yang subordinat tidak boleh melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan yang identik dengan virilitas. 

Seperti yang diungkapkan Bourdieu, kekerasan simbolik bersifat sangat halus dan justru diafirmasi. Perempuan yang seharusnya merasa terhina karena umpatan yang memiripkan laki-laki yang tidak mampu melakukan hal-hal untuk menunjukkan virilitasnya justru mengafirmasi kondisi tersebut karena visi androsentris yang tak disadarinya akan mengatakan bahwa laki-laki memang seharusnya mampu menunjukkan virilitasnya--karena hal itu sudah terberi. Laki-laki yang memperolok juga demikian tak lepas dari visi androsentrisnya bahwa laki-laki sudah seharusnya mampu melakukan hal-hal untuk menunjukkan virilitasnya dalam hal ini melakukan aktivitas olahraga. Laki-laki yang diperolok juga tak lepas visi androsentris, bahwa seorang laki-laki memang harus mampu menunjukkan virilitasnya, meskipun merasa terhina ia tak bisa lepas dari visi androsentris tersebut namun justru semakin mengafirmasinya, hal yang paradoks memang.     

Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui bagaimana habitus, field dan doxa bekerja serta dapat menarik kesimpulan bahwa umpatan, "kalau gak bisa lari lebih cepat lebih baik pakai rok saja" dalam olahraga adalah sebuah kekerasan simbolik. Umpatan tersebut meneguhkan visi andosentris dalam olahraga bahwa perempuan adalah gender yang subordinat yang seolah tidak bisa melakukan olahraga seperti yang dilakukan laki-laki, dalam hal ini olahraga bisa dipahami sebagai ajang menunjukkan virilitas. 

Barangkali akan muncul pertanyaan, bagaimana mungkin tradisi di masyarakat Yunani kuno dapat dijadikan landasan untuk memahami umpatan yang terjadi dalam kegiatan olahraga di masa kini. Saya akan menjawab begini, mengutip dari Pierre Bourdieu, "dunia ini bergerak dalam visi androsentris". Meski demikian saya berpendapat dengan pemahaman tentang umpatan yang seringkali terjadi dalam praktek olahraga tersebut kita bisa untuk lebih menyadari bahwa umpatan tersebut sangat kejam sehingga umpatan tersebut dapat dihindari.

            

Ganjar Wicaksono

Referensi:
Althusser, Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Terjemahan: Olsi Vinoli Armof. Yogyakarta: Jalasutra.

Bourdieu, Pierre. 2011. Choses Dites, Uraian & Pemikiran. Penerjemah: Ninik Rochani Sjams. Bantul: Kreasi Wacana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun