Mungkin generasi milenial tidak sempat merasakan krisis keuangan Asia 1997/1998.  Krisis yang semula terjadi di Thailand ternyata menjalar juga ke Indonesia.  Padahal sebelumnya para ekonom dengan penuh keyakinan menyatakan fundamental ekonomi kita aman.  Dibandingkan  Thailand, kondisi perekonomian Indonesia jauh lebih baik. Â
Ternyata perkiraan itu meleset. Â Sektor perbankan tanah air mulai kesulitan likuiditas akibat dampak krisis Asia. Â Krisis diperparah karena adanya kepanikan politik yang mengakibatkan pelarian modal besar-besaran (flight for safety) ke luar negeri. Â Â Rupiah merosot tajam dari semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi Rp 17.000 per dollar AS (Januari 1999). Â
Bagi pelaku usaha di Indonesia yang punya tabungan atau penghasilan dalam bentuk dollar AS bak mendapatlan durian runtuh. Â Jika dirupiahkan tabungan mereka menjadi berlipat-lipat. Â Sebaliknya, pelaku usaha yang punya utang dalam dollar AS bak ketiban tangga. Â Utang mereka justru menggunung. Â Diperparah lagi dengan penghasilan yang mereka peroleh dalam bentuk rupiah. Â Â
Kehidupan semakin sulit terutama bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Â Sebelum krisis saja untuk makan sudah susah, apalagi ketika semua harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Â Banyak rakyat yang menderita dan frustasi. Â Hingga pecah kerusuhan Mei 1998 dengan memakan banyak korban jiwa maupun harta serta tumbangnya rezim Orde Baru.
Saat itu Bank Indonesia (BI) mengucurkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia  (BLBI) kepada 48 bank untuk menyelamatkan dunia perbankan.  Dana  dikucurkan sebanyak Rp 144,5 T lalu ditambah lagi sebesar Rp 14,447 trilyun per Januari 1999, sehingga totalnya menjadi Rp 158,8 trilyun.Â
Sepuluh tahun kemudian terjadi krisis  keuangan global akibat imbas krisis kepercayaan yang dipicu oleh krisis suprime mortgage di AS dimana kredit perumahan diberikan kepada debitur-debitur yang memiliki portofolio kredit yang buruk.  Akibatnya banyak terjadi kredit macet.   Hal ini berdampak pada indeks Dow Jones (bursa saham AS) yang terjun bebas dan berdampak secara global.   Untuk mengembalikan kepercayaan publik,  Pemerintah AS menyuntikkan dana talangan hingga satu trilyun dollar AS.
Dari pengertian di atas kerentanan dapat ditimbul dari dalam negeri (domestik) atau luar negeri (global).  Faktor dalam negeri misalkan  situasi politik, bencana alam,  atau kolapsnya perbankan dalam negeri.Â
Sedangkan contoh faktor luar negeri seperti adanya kasus subprime mortgage di Amerika Serikat,  jatuhnya harga minyak dunia, perlambatan ekonomi China, perang dagang Amerika Serikat -- China, atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa (British Exit).
Dalam menjaga SSK, utang negara menjadi salah satu hal yang paling disoroti. Utang laksana tokoh antagonis yang merusak ekonomi sebuah negara. Â Semakin bertambahnya jumlah utang, maka kinerja pemerintahan semakin dipertanyakan. Â Hampir mustahil apabila negara besar mampu berdiri di era ekonomi terbuka seperti ini tanpa berutang. Â Â Negara maju macam AS dan Jepang pun punya utang. Â Â Setiap negara berutang untuk saling mengakselerasi pertumbuhan ekonomi global . Â