Hal itulah yang terjadi di Pajak Buah Berastagi, kala perbedaan bercampur untuk dinikmati dan dibagi bukan saling memusuhi dan membenci. Ketika para penjual berbagi cerita dan bertegur sapa yang menjadikan mereka saudara meski berbeda.
Masjid Istihrar salah satu masjid besar di Berastagi yang berada dikaki Sinabung menjadi tempat pengungsian "tak kenal keyakinan", dimana semua orang berkumpul bersama tak membedakan suku pun agama dalam tenda-tenda atau teras masjid bahkan ruangan masjid dalam nasib yang sama pula.
Hidup berdampingan dan jauh dari konflik, mungkin itulah yang sedikit saya pahami dari pengalaman baru ini. Meski berbeda, jika saling menghormati dan menyayangi maka toleransi akan tercapai untuk masyarakat yang tentram hidupnya.
Terkadang kita terlalu berlarut dalam sebuah konflik yang tak menguntungkan dan tak membangun sama sekali sehingga perpecahan tak kunjung usai di negeri ini. Sudahi semacam itu, lalu kita bersatu melerai perbedaan.Â
Dari masyarakat Berastagi kita dapat belajar, bahwa tak mengapa berbeda asal tujuan kita terhadap kehidupan didunia khususnya di Nusantara adalah sama yaitu amanat sila ketiga "persatuan Indonesia".
Sesuai semboyan bangsa kita "Bhinneka Tunggal Ika" yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu. Bersatu dalam sebuah perbedaan tanpa menghilangkan identitas masing-masing tentunya.
Patut disyukuri, ketika Tuhan memberi kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Begitupun dengan perbedaan yang menjadi keindahan kala saling menerima dan menghormati satu sama lain. Omong kosong suku, agama, budaya, bahkan fisik jika perbedaan malah dijadikan pertentangan.
Kita dengan keberagaman adalah sebuah hal yang sangat istimewa. Bagaimana tidak, ketika saling menghormati menjadi ritual paling dinanti pun disenangi.