Mohon tunggu...
Azzam
Azzam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030139)

Ngga ada yang abracadabra, makanya santai aja tapi pake irama!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Secarik Pesan Toleransi dari Perkampungan di Kaki Gunung Sinabung

19 Juni 2021   01:37 Diperbarui: 19 Juni 2021   04:21 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tempat ibadah yang berdampinga (dokpri)

Pagi hari ini cerah ketika saya berjalan menuju masjid untuk berkegiatan disana, dalam perjalanan betapa terkejutnya saya ketika sebuah sapaan dari seorang remaja yang sedang terapi di sebuah dukun patah tulang. (Di Sumatera Utara (Medan), seorang ahli pengobatan patang tulang tradisional disebut dukun patah tulang)

"Assalamualaikum (seraya tersenyum manis)" ucap seorang remaja wanita yang berjalan berpapasan denganku.

Sejenak saya terdiam lalu "Wa.. Wa.. Waalaikumsalam (dibarengi senyuman terheran)" dengan reaksi kaget dan jawaban yang tersendat.

Yaa, saya begitu terkaget karena mengetahui ia bukanlah seorang muslim. 

Kenapa saya tahu ? karena terlihat ia mengenakan kalung salib dilehernya. Kenapa saya terkejut ? mengejutkan karena saya dilahirkan di daerah mayoritas muslim dan dibesarkan dilingkungan muslim pula, jadi hal langsung seperti itu adalah tabu bagi saya.

Kemudian, saya menceritakan kejadian tersebut kepada sahabat saya yang lahir dan dibesarkan di perkampungan tersebut, betapa saya semakin terkejut sekaligus takjub dengan apa yang terjadi di perkampungan ini.

"Ahh alay kali kau, dulu  kawan deket aku pas kecil ayahnya pendeta loo asal kau tau aja, kau tau bangunan yang ada salibnya itu? (sebuah gedung panti asuhan kristen)" ujar Dapunk dengan semangat menceritakannya dibarengi nada agak sombongnya hehe.

"Iya tau aku wak" ucapku antusias terhadap ceritanya.

"Dulu aku main sama anaknya pendeta itu loo, main-main aku ke kamarnya ke semua ruangan didalamnya pun, makanya aku tau itu panti asuhan kristen, ayahnya iyaaahh baik kali pun sama aku, kenal baik juga pun orang tua kami lek" pungkasnya dengan logat khas Medan.

Diatas adalah sebuah kisah menarik yang saya alami ketika beberapa hari menjadi seorang mentor Qur'an di Rumah Tahfiz Cahaya, Berastagi. Bercerita tentang toleransi yang telah menjadi tradisi di daerah tersebut.

salah satu gereja dan masjid besar di Berastagi (dokpri)
salah satu gereja dan masjid besar di Berastagi (dokpri)
Belum lagi keramahan dan rasa persaudaraan para penjual buah di Pajak Buah Berastagi. Hal yang wajar bila penjual ramah kepada pembeli namun apa jadinya jika orang yang berjualan bersampingan mempunyai perbedaan keyakinan pun suku?  (Di Sumatera Utara (Medan), pasar tradisional disebut pajak)

Hal itulah yang terjadi di Pajak Buah Berastagi, kala perbedaan bercampur untuk dinikmati dan dibagi bukan saling memusuhi dan membenci. Ketika para penjual berbagi cerita dan bertegur sapa yang menjadikan mereka saudara meski berbeda.

saling sapa saling cerita di Pajak Buah Berastagi (dokpri)
saling sapa saling cerita di Pajak Buah Berastagi (dokpri)
Sebuah cerita ataupun fakta menarik lain yang semakin membuat saya tertegun adalah ketika Gunung Sinabung erupsi ganas sekitar tahun 2012.

Masjid Istihrar salah satu masjid besar di Berastagi yang berada dikaki Sinabung menjadi tempat pengungsian "tak kenal keyakinan", dimana semua orang berkumpul bersama tak membedakan suku pun agama dalam tenda-tenda atau teras masjid bahkan ruangan masjid dalam nasib yang sama pula.

Hidup berdampingan dan jauh dari konflik, mungkin itulah yang sedikit saya pahami dari pengalaman baru ini. Meski berbeda, jika saling menghormati dan menyayangi maka toleransi akan tercapai untuk masyarakat yang tentram hidupnya.

Terkadang kita terlalu berlarut dalam sebuah konflik yang tak menguntungkan dan tak membangun sama sekali sehingga perpecahan tak kunjung usai di negeri ini. Sudahi semacam itu, lalu kita bersatu melerai perbedaan. 

Dari masyarakat Berastagi kita dapat belajar, bahwa tak mengapa berbeda asal tujuan kita terhadap kehidupan didunia khususnya di Nusantara adalah sama yaitu amanat sila ketiga "persatuan Indonesia".

Sesuai semboyan bangsa kita "Bhinneka Tunggal Ika" yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu. Bersatu dalam sebuah perbedaan tanpa menghilangkan identitas masing-masing tentunya.

Patut disyukuri, ketika Tuhan memberi kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Begitupun dengan perbedaan yang menjadi keindahan kala saling menerima dan menghormati satu sama lain. Omong kosong suku, agama, budaya, bahkan fisik jika perbedaan malah dijadikan pertentangan.

Kita dengan keberagaman adalah sebuah hal yang sangat istimewa. Bagaimana tidak, ketika saling menghormati menjadi ritual paling dinanti pun disenangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun