Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecerdasan Bukan Jaminan untuk Tidak Melakukan Tindakan Ceroboh nan Konyol, Berikut Ulasannya

13 Mei 2020   22:19 Diperbarui: 13 Mei 2020   22:51 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup terlampau kompleks untuk dihadapi hanya berbekal kecerdasan (credit: Shutterstocks)

Kecerdasan tidak menjamin seseorang terhindar dari kesalahan. Bahkan, terkadang mereka dengan gelar akademik dan pengalaman riset dengan jam terbang tinggi dapat terjerumus melakukan hal-hal yang sangat konyol. Terkadang pula mereka kurang cermat dalam memilih keputusan hidup sehingga kehidupan pribadi maupun sosialnya tidak secemerlang pencapaian akademisnya.

Tulisan ini tidak menimbang kasus tadi melalui perspektif moralitas. Dari beberapa diskusi yang pernah saya tuangkan ke dalam artikel, perspektif itu mestinya tampak jelas. Kondisi religiositas saja tidak menjamin spiritualitas seseorang terlebih lagi kemampuan kognitifnya. Sehingga diskusi kali ini kita memilih menimbangnya dari perspektif psikologis alih-alih menyeret soalan moralitas.

Beberapa nama besar, yang kecerdasannya diakui oleh sejarah, dapat kita sebutkan di sini tanpa harus menghakimi mereka. Sebut saja Jean-Jacques Rousseau tokoh humanis yang terkenal dengan teori kontrak sosialnya dikenal menelantarkan anak-anaknya sendiri. Sikap yang dikemudian hari dijadikan bulan-bulanan oleh Voltaire (cek Stanford Encyclopedia of Philosophy).

Begitu pun dengan Simone de Beauvoir, teoretikus sekaligus pejuang hak-hak perempuan lewat pandangan feminismenya juga disebut membungkam suara perempuan yang jadi tumbal gaya hidupnya bersama Jean Paul Sartre. Namun seperti yang disampaikan di awal, mereka dihadirkan sebagai pembelajaran dan bukan sebagai target olok-olokan. Pola ini tidak hanya ditemui dalam skala individual namun juga pada skala institusional.

Seperti kebijakan pembelian paket pembelajaran daring secara mandiri oleh masing-masing penerima sasaran program alih-alih membeli lisensi atau hak cipta dari paket pembelajaran tersebut agar bisa digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan tentunya lebih mengehemat anggaran. Kekonyolan-kekonyolan seperti ini sering kita temui. Namun yang menarik perhatian kita adalah mengapa justru dilakukan oleh orang-orang cerdas itu?

Temuan Kajian Psikologi Perilaku: Rendahnya Korelasi Antara Kecerdasan Terhadap Kecakapan Hidup
Sejauh ini, kajian di bidang psikologi perilaku masih mempertahankan hipotesis tersebut. Kecerdasan memang berguna di banyak sisi kehidupan bahkan menjadi patokan dasar kemampuan kita bertahan hidup. Namun, di sisi lain, tidak menentukan kecakapan kita ketika mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup. Terutama kemampuan menimbang langkah strategis beserta semua risikonya.

Temuan ini secara komprehensif dibahas oleh David Robson dalam bukunya berjudul The Intelligence Trap. Menurutnya, kecerdasan dan keahlian pada bidang keilmuan tertentu justru membuat orang rentan berbuat salah. Kondisi ini bisa berakibat fatal jika orang tersebut, dengan posisi dan reputasinya di mata publik, menggiring opini masyarakat terhadap isu-isu sensitif seperti yang bersifat politis.

Menjamurnya teori konspirasi di saat korban terus berjatuhan akibat pandemi Covid-19, kecemasan terhadap perubahan iklim drastis melalui isu pemanasan global yang dinilai berlebihan, hingga menafikan kekhawatiran publik dengan melonggarkan penerbangan internasional saat kuncitara lokal serta larangan mudik justru semakin diperketat merupakan contoh kasus di mana figur dengan label akademik atau kecerdasannya mampu membuat kepanikan massal.

Untuk memudahkan pemahaman terhadap bagaimana kondisi bisa terjadi, ada baiknya kita membahas istilah-istilah teknis yang digunakan oleh Robson. Pertama, istilah yang ia sebut dengan Dysrationalia yang merujuk pada temuan yang dipopulerkan oleh Daniel Kahneman dan koleganya, Amos Tversky, yang menyebutkan bahwa pikiran manusia memang rentan terhadap bias-bias kognitif.

Di antara bias yang disebabkan oleh Dysrationalia ini adalah framing di mana interpretasi data statistik dikacaukan oleh bentuk kalimat penyajiannya. Seperti kasus frasa Susu Kental Manis yang ternyata kandungan susunya tidak lebih dari 20 persen. Bahan utamanya didominasi gula dan air. Frasa Susu Kental membuat konsumen menafikan kata Manis (mengaburkan kata Gula) sehingga tentu menyesatkan interpretasi diet konsumen terhadap produk tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun