Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Konflik Relasi Pakar-Awam: Ulasan Interpretatif atas Matinya Kepakaran oleh Tom Nichols (Bagian Satu)

10 September 2019   19:21 Diperbarui: 10 September 2019   19:44 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada yang peduli untuk memaksimalkan waktu mengasah diri, mendiskusikan ide dan pengembangan ilmu bersama Dosen yang mereka pilih sebagai Mentor, atau menerapkan gagasan-gagasan lewat program pengabdian masyarakat. Bahkan, banyak penerima beasiswa yang justru mengesampingkan program khusus yang ditargetkan kepada mereka.

Hasilnya, lulusan dengan standar biasa saja termasuk tenaga ahli yang kemampuannya tidak sesuai kualifikasi zamannya. Termasuk tenaga pengajar atau Dosen yang dihasilkan dari pola pelayanan kampus seperti itu. 

Bukan rahasia lagi, banyak Dosen yang gemar memplagiasi karya orang lain bahkan menghasilkan tulisan yang idenya biasa kita temukan di diskusi warung kopi. Tidak ada yang spesial. Target karyanya pun dihitung berdasarkan target pendapatannya.

Kondisi itu diperparah dengan banyaknya kampus abal-abal yang orientasinya hanya mengejar keuntungan. Melihat pasar yang potensial, meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menyertakan anak-anak mereka ke Perguruan Tinggi dimanfaatkan sedemikian rupa untuk meraup rupiah. 

Mahasiswa(i) hanya fokus pada selembar ijazah sebagai tiket ke dunia kerja, Dosennya tunduk pada kebijakan manajemen pengelolaan berorientasi keuntungan, dan pengalaman kuliah yang jauh lebih buruk dari Sekolah Menengah. Lengkaplah sudah.

Komersialisasi pengalaman kuliah ini tidak hanya merusak tradisi membangun kepakaran di zona akademis namun juga luput mengawasi satu hal paling mendasar; membentuk etika profesionalisme. 

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, tidak sedikit mahasiswa(i) yang menantang Dosennya baik di ruang kelas maupun di ruang publik hanya karena 'merasa' dirugikan atau sudah merasa lebih dari cakap hanya karena sudah membaca banyak buku dan telaten merujuk literatur ilmiah.

Hal itu tentu meremehkan pendidikan, pengalaman, bakat, dan pengakuan lembaga otoritas dari Dosen bersangkutan. Padahal, kampus hanyalah langkah awal dari sebuah petualangan intelektual. 

Buku dan internet itu bukanlah senjata; tidak lebih dari sekadar input informasi. Belum dipilah menjadi data, lalu diverifikasi dan divalidasi kemudian diolah untuk menghasilkan simpulan. Itu pun mesti diuji dan didiskusikan kembali sebelum ditimbang perlu tidaknya simpulan itu dinyatakan atau disebarluaskan.

Sebaliknya, Dosen sebagai profesi yang mewakili bidang kepakaran tertentu tidak dapat menunjukkan sikap absolutisme. Dosen juga bisa salah dan rentan menerapkan proses berpikir konyol, terutama jika diselubungi maksud atau tujuan tertentu. 

Dosen dituntut lebih dewasa mencontohkan ritual kepakaran di depan mahasiswa(i), tidak gegabah, dan tentunya tidak menutup diri terhadap diskusi dan kemungkinan bahwa mahasiswa(i) bisa saja mengutarakan simpulan yang lebih benar atau lebih dapat diterima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun