Pancasila merupakan dasar negara, pandangan hidup, sekaligus identitas moral bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi pedoman dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam era modern saat ini ketika arus globalisasi, kemajuan teknologi, serta perubahan sosial berlangsung begitu cepat Pancasila tetap menjadi penuntun agar bangsa Indonesia tidak kehilangan arah dan jati dirinya (Sari & Najicha, 2022). Nilai-nilai Pancasila bukan hanya slogan yang diucapkan dalam upacara kenegaraan, melainkan harus diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam pola berpikir, berperilaku, dan berinteraksi masyarakat. Di satu sisi, kemajuan tersebut memberikan kemudahan dan efisiensi, namun di sisi lain, muncul berbagai tantangan baru seperti krisis moral, individualisme, dan lunturnya semangat kebersamaan. Dalam konteks ini, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa berperan penting sebagai sumber moral yang menuntun manusia untuk menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab. Keimanan menuntut manusia untuk berbuat baik, menghormati kehidupan, serta menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai spiritualitas (Aryani et al., 2022). Nilai ketuhanan menjadi fondasi etis bagi masyarakat modern agar tidak terjerumus dalam perilaku hedonistik atau materialistik.
Nilai kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mengingatkan pentingnya memperlakukan setiap manusia secara bermartabat. Modernitas sering kali membuat hubungan antarmanusia menjadi impersonal dan transaksional. Manusia mudah terjebak dalam persaingan dan egosentrisme. Padahal, hakikat kemajuan bukan hanya diukur dari kecanggihan teknologi, tetapi juga dari sejauh mana nilai kemanusiaan tetap dijaga. Nilai kemanusiaan menuntut kita untuk bersikap empatik, menghormati perbedaan, serta menghindari kekerasan verbal maupun digital yang marak di media sosial (Sianturi & Dewi, 2021). Dalam konteks kehidupan modern, penerapan nilai ini dapat diwujudkan dengan membangun budaya digital yang beretika, menghargai privasi orang lain, dan memanfaatkan teknologi untuk kepentingan bersama.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, memiliki makna yang semakin penting di era globalisasi. Tantangan terbesar bagi bangsa modern adalah menjaga kohesi sosial di tengah keberagaman identitas. Arus budaya asing yang begitu deras sering mempengaruhi cara pandang generasi muda terhadap budaya nasional. Sebagian dari mereka lebih bangga terhadap produk dan gaya hidup luar negeri dibandingkan warisan budaya sendiri (Parawangsa & Dewi, 2022). Dalam situasi demikian, semangat persatuan harus dipahami bukan sebagai penyeragaman, melainkan pengakuan atas perbedaan yang saling melengkapi. Gotong royong dan solidaritas sosial merupakan wujud konkret dari sila ketiga, yang menegaskan bahwa kekuatan bangsa terletak pada kemampuannya menjaga harmoni di tengah perbedaan.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengandung nilai demokrasi yang beretika. Demokrasi dalam pandangan Pancasila tidak identik dengan kebebasan tanpa batas, tetapi menekankan pentingnya musyawarah, kebijaksanaan, dan tanggung jawab moral. Dalam kehidupan modern yang serba kompetitif, semangat demokratis sering disalahartikan sebagai kebebasan absolut untuk mengekspresikan pendapat, bahkan tanpa mempertimbangkan etika publik. Pancasila mengajarkan bahwa setiap kebebasan harus disertai dengan kebijaksanaan, saling menghargai, dan mencari solusi bersama melalui dialog (Rasyid et al., 2024). Nilai ini dapat diterapkan di berbagai bidang kehidupan: dalam keluarga, dunia pendidikan, lingkungan kerja, maupun pemerintahan.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi cita-cita moral tertinggi dari seluruh sila Pancasila. Di era modern, kesenjangan sosial dan ekonomi masih menjadi persoalan serius. Ada sebagian masyarakat yang memperoleh manfaat besar dari kemajuan teknologi, sementara kelompok lain tertinggal karena keterbatasan akses. Keadilan sosial menuntut agar setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai potensinya. Pemerataan pendidikan, peningkatan kesejahteraan, serta keberpihakan. pada kelompok lemah merupakan bentuk nyata penerapan nilai ini (Aryani et al., 2022). Dalam konteks digital, keadilan sosial juga dapat diwujudkan dengan memperluas akses informasi dan literasi digital agar seluruh lapisan masyarakat mampu berpartisipasi dalam kemajuan bangsa.
Menghidupi nilai-nilai Pancasila di era modern bukan berarti menolak perubahan. tetapi menempatkan kemajuan dalam bingkai moral dan kemanusiaan. Pancasila menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara spiritualitas dan rasionalitas. Ia mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan individu dan kepentingan bersama. Seperti dikemukakan oleh Parawangsa dan Dewi (2022), Pancasila berperan sebagai pedoman etis yang memastikan agar pembangunan nasional tidak hanya menghasilkan kemajuan ekonomi, tetapi juga kesejahteraan sosial dan harmoni antarmanusia.
Tantangan modernitas yang serba cepat menuntut generasi muda untuk memahami Pancasila bukan hanya secara kognitif, tetapi juga afektif dan praktis. Nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, dan tanggung jawab sosial harus diterjemahkan dalam tindakan. konkret. Seorang pelajar dapat mengamalkan Pancasila dengan belajar disiplin dan menghargai perbedaan di sekolah. Seorang pekerja dapat menerapkannya melalui kejujuran, profesionalisme, dan integritas. Sementara seorang pemimpin dapat mewujudkannya dengan mengambil keputusan yang adil serta berpihak pada kepentingan rakyat. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya menjadi dasar negara, tetapi juga gaya hidup yang membentuk karakter bangsa di tengah kehidupan modern (Rasyid et al., 2024).
Menghayati nilai-nilai Pancasila di tengah kehidupan modern mengingatkan saya bahwa kemajuan teknologi dan globalisasi tidak boleh membuat manusia kehilangan arah moral dan spiritual. Dunia digital yang serba cepat sering menggoda manusia untuk hidup instan, egois, dan melupakan nilai kemanusiaan. Namun melalui sila-sila Pancasila, saya belajar bahwa kemajuan sejati bukan hanya tentang kemampuan menguasai teknologi, melainkan tentang bagaimana tetap beriman, menghormati sesama, dan hidup beradab di tengah perubahan. Pancasila menuntun saya untuk memaknai kebebasan dengan tanggung jawab dan melihat keberagaman bukan sebagai ancaman, melainkan kekuatan yang memperkaya kehidupan bersama.
Lebih jauh, refleksi atas Pancasila menumbuhkan kesadaran bahwa setiap individu memiliki peran nyata dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab. Mengamalkan Pancasila berarti berani melawan sikap apatis, menumbuhkan solidaritas sosial, dan berkontribusi positif bagi lingkungan. Dalam diri saya, nilai-nilai seperti kejujuran, gotong royong, dan keadilan sosial harus menjadi kebiasaan, bukan sekadar wacana. Hanya dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup yang dihayati dalam tindakan nyata, bangsa Indonesia dapat tetap kokoh menghadapi tantangan zaman dan mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan yang sejati.
Pada akhirnya, keberlanjutan bangsa Indonesia di era digital tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi, tetapi juga oleh sejauh mana nilai-nilai Pancasila dihidupi dalam realitas sosial. Ketika setiap warga negara mengamalkan Pancasila secara utuh, Indonesia akan menjadi bangsa yang tidak hanya maju secara material, tetapi juga beradab, adil, dan bermartabat.