Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah thread di aplikasi Twitter (yang sekarang berganti nama menjadi X) tentang sebuah penyakit sangat langka yang dialami oleh seorang gadis asal Georgia, Amerika Serikat. Penyakit ini disebut "Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis (CIPA)". Sesuai namanya, penyakit langka ini membuat pengidapnya tidak bisa merasakan sakit dan kesulitan mengatur suhu tubuh (anhidrosis). Penyakit ini terbilang sangat langka, karena hanya ada 1 dari 125 juta kelahiran yang mengidap penyakit ini. Tertarik, saya pun mencari bacaan yang bersumber dari government dan juga jurnal kesehatan untuk turut membagikan cerita ini kepada para pembaca sekalian.
Mari kita mulai dari definisi CIPA. Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis (CIPA) adalah sebuah penyakit yang menyerang sistem saraf otonom dan sensorik yang termasuk ke dalam kelompok penyakit Hereditary Sensory and Autonomic Neurophathies (HSAN) tipe IV. HSAN sendiri memiliki 5 klasifikasi penyakit, tetapi tipe IV adalah tipe yang sangat langka dimana terdapat insensitivitas terhadap nyeri dan deficit otonom tetapi sensitivitas sentuhan dan tekanan tidak berpengaruh. Penyebab dari CIPA sendiri adalah mutasi pada gen NTRK1 (Neurothropic Tyrosine Kinase Receptor 1) atau dikenal juga dengan TRKA yang berperan dalam perkembangan dan fungsi saraf. Penyakit ini diturunkan secara autosomal resesif dari kedua orang tua yang membawa gen pembawa (carrier).
Cara para ahli mendiagnosis penyakit langka ini adalah sebagian besar berasal dari gejala klinis dan dilengkapi beberapa pemeriksaan. Gejala spesifik yang harus ada: insensitivitas terhadap rasa sakit, anhidrosis (tidak bisa mengeluarkan keringat), dan disabilitas intelektual ataupun retardasi mental. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan sensorik dan otonom terkait seperti pada kulit dan tes sural nerve biopsy. Biasanya tanda dan gejala CIPA muncul lebih awal, saat lahir ataupun selama masa bayi dan kanak-kanak. Apabila tidak ditangani dengan benar, individu tersebut tidak akan bisa bertahan hidup akibat cedera parah berulang karena ketidakmampuan merasakan nyeri dan mengatur suhu. Namun jika individu sudah mendapatkan perhatian medis yang cermat sedini mungkin, ia berpotensi hidup hingga dewasa.
Berkaitan dengan dampak, inilah yang sesungguhnya menarik untuk dibahas. Bagaimana insensitivitas terhadap rasa sakit secara langsung maupun tidak langsung 'membunuh' penderitanya?
Ketidakmampuan tubuh merasakan nyeri atau rasa sakit seringkali membuat penderita tidak mendapatkan perawatan luka yang seharusnya ia dapatkan karena tubuh tidak memberi sinyal rasa sakit dan ia tidak sadar akan cederanya. Orang dengan CIPA sering melukai diri sendiri secara tidak sengaja, seperti menggigit lidah, bibir, atau jari yang dapat menyebabkan amputasi spontan pada area yang terdampak. Cedera kulit dan tulang yang sering juga bisa menyebabkan trauma berulang, dan mengakibatkan infeksi tulang kronis.
Ketidakpekaan terhadap nyeri sudah menjadi satu masalah besar, ditambah penderita CIPA juga tidak bisa mengeluarkan keringat, dengan artian pengaturan suhu tubuhnya berantakan (deregulasi suhu). Efeknya sangat serius, mengingat tubuh memerlukan mekanisme keringat untuk mendinginkan suhu yang sedang tinggi, bisa karena olahraga maupun karena demam. Penderita CIPA kebalikan dari normal, tidak bisa merasakan kenaikan suhu tubuh tersebut yang mengakibatkan demam tinggi dan kejang karena tingginya suhu tubuh.
Narasi ini benar-benar terjadi pada gadis asal Georgia tersebut. Sejak bayi, ia tidak pernah menangis dan masa kanak-kanaknya dilalui tanpa satu kalipun menangis meskipun ia sedang terluka parah. Beberapa kali gadis ini tidak sadar telah melukai dirinya sendiri, sehingga orang tuanya benar-benar protektif dan harus mengawasinya 24 jam setiap hari untuk mencegah sang anak terluka tanpa disadari yang bisa memicu cedera dan trauma yang lebih parah.
Saat ini, terapi ataupun pengobatan CIPA berfokus pada pengurangan gejala (simptomatik) dan pencegahan komplikasi yang muncul akibat penyakit (profilaksis dari komplikasi). Terapi pengurangan gejala berfokus pada:
- Menangani luka atau infeksi ketika individu tidak sadar saat terluka
- Membantu pengaturan suhu tubuh karena individu tidak bisa berkeringat
- Mencegah kejang demam akibat panas berlebih/suhu tinggi
- Memberikan perawatan gigi dan kulit secara rutin
Sedangkan pencegahan komplikasi berfokus pada tindak pencegahan dan pengawasan agar individu tidak mengalami masalah lebih lanjut akibat penyakitnya, seperti:
- Mengajari para wali untuk selalu memeriksa tubuh individu dari luka baru ataupun luka tersembunyi
- Menyediakan lingkungan yang sejuk dan pakaian yang sesuai untuk mencegah hipertermia (panas berlebih)
- Pengawasan ketat saat beraktivitas untuk mencegah cedera tulang atau sendi, dan rutin melakukan kontrol pada tenaga ahli untuk memantau kondisi tubuh
Gadis yang terkena CIPA di dalam thread yang saya angkat ini bisa tumbuh sampai besar. Kehadirannya bahkan turut membantu kemajuan ilmu pengetahuan dengan membersamai ahli medis sebagai bagian dari penelitian untuk memahami lebih dalam tentang mekanisme rasa sakit. Ceritanya dimuat secara luas dalam berbagai media lokal maupun nasional termasuk The New York Times Magazine yang memajang kisahnya sebagai cover majalah dengan headline "Painless". Ia membawa perspektif baru bagi masyarakat tentang bagaimana perjalanan dan biografi uniknya dengan kehidupan tanpa rasa sakit.