Mohon tunggu...
aziz satriya
aziz satriya Mohon Tunggu... pegawai negeri -

sekolah di Bandar lampung dan dtinggal di Bandar Lampung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Pemimpin, Bukan Penguasa atau Raja!

18 Juli 2013   10:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:23 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Reformasi di Indonesia telah berjalan lebih dari 14 tahun, banyak perubahan yang terjadi entah itu perubahan yang positif ataupun perubahan yang negatif, hanya saja perubahan yang diharapkan dari sebuah Reformasi tahun 1998 adalah perubahan yang posiitf membawa kebaikan alias perubahan yang membawa kesejahteraan untuk Rakyat Indonesia secara keseluruhan. Banyak hal yang Menjadi pertanyaan mendasar kita antara lain; sejauhmana reformasi di Indonesia yang telah menelan banyak nyawa dan martir demokrasi tersebut dapat membawa kesejahteraan setelah hampir 15 tahun berlalu?, sistem Otonomi Daerah yang menjadi salah satu pokok tuntutan reformasi dalam rangka mensejahterakan rakyat di daerah (luar Jawa) apakah sudah mengenai sasaran yaitu kesejahteraan diseluruh daerah?, apakah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sudah dapat di eliminir?, Apakah Keterbukaan ruang demokrasi baik kebebasan PERS, ataupun Demokrasi Langsung (pemilihan Langsung) dapat menghasilkan kebaikan dan kesejahteraan rakyatnya ataukah hanya sekedar memperkaya keluarga pejabat politik yang terpilih, peran PERS sendiri apakah sudah benar-benar objektif sesuai dengan fakta, ataukah hanya peran bisnis yang dikedepankan.
Isu utama dalam reformasi Indonesia adalah Demokrasi, Pemerintahan yang bersih, dan Otonomi daerah, yang diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan Orde Baru yang Otoriter dan hanya terpusat di Jakarta. Telah banyak Undang-undang ataupun kebijakan yang dikeluarkan baik tentang Pemilu/Pilkada, Pemerintahan Daerah, Tentang Birokrasi, Pemberantasan Korupsi, dan serentetan aturan yang kita sendiri bingung membacanya.
Namun apa fakta yang terjadi di lapangan, bahwa otonomi daerah di Indonesia ternyata belum menunjukkan adanya perubahan yang cukup signifikan terhadap kesejahteraan rakyat, banyak pengelola/administrator Pemerintah Daerah yang tujuannya hanya sekedar kekuasaan atau bahkan membangun sebuah Dynasty kekuasaan, misalnya Gubernurnya si Bapaknya, kemudian Bupati nya anaknya, anggota DPRD or DPD masih kerabat atau keponakannya, dan sebagainya. Sehingga secara kasat mata kita melihat bahwa kekuasaan di daerah akan membangun dan membentuk kembali “raja-raja kecil” dengan selubung Demokrasi. Mereka berkilah bahwa mereka dipilih oleh rakyat dengan cara yang demokratis, dan rakyat sendirilah yang memilihnya. Namun dalam faktanya konsep pemerintahan yang terjadi adalah dynasty kekuasaan dan akibatnya adalah mengelola pemerintahan Daerah pun seperti mengelola Perusahaan Keluarga, bahkan sampai ke penempatan pegawai pun keluarga penguasa juga mempunyai peran yang cukup berpengaruh. padahal jelas anggaran yang dipergunakan adalah anggaran publik yang bersumber dari pajak masyarakat, seharusnya dikembalikan lagi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, bukan uang keluarga para penguasa.
Namun ada secercah harapan bahwa akhir-akhir ini cukup banyak juga figur-figur dan tokoh pemimpin daerah hasil Pilkada Langsung yang muncul dengan sisi kerakyatannya seperti Gubernur Jakarta Jokowi, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, dan sebagian kecil lainnya di daerah, akan tetapi sayangnya figur atau tokoh yang muncul ini tertutup dengan banyaknya pemimpin daerah yang kurang baik track recordnya.
Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya apa yang harus dilakukan oleh kaum intelektual sebagai penjaga gawang cita-cita dan tujuan negara, Harus bisa ditelaah dan di kritisi mengapa Republik ini gagap dalam menerima perubahan, apakah budaya dynasty otoriter yang bertahan selama 32 tahun telah merusak sisi kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini, sehingga amat susah untuk berdemokrasi yang kerakyatan, dan untuk mencari pemimpin yang merakyat. artinya walaupun ruang demokrasi saat ini telah terbuka, namun tetap masih gagap dan perlu proses yang cukup panjang untuk pematangannya, sehingga demokrasi yang ada nantinya dapat membawa kesejahtreaan buat rakyat dan bisa menghasilkan Pemimpin yang diharapkan.
Ada beberapa kondisi yang dapat diperhatikan mengapa Demokrasi di Indonesia, terutama proses demokrasi di daerah belum bisa menghasilkan pemimpin daerah yang mensejahterakan rakyatnya, antara lain :
1. Permasalahan Kemiskinan dan Kebodohan
Ruang demokrasi memang sudah terbuka, akan tetapi budaya otoriter dan penyeragaman yang ada sama sekali masih kuat bercokol dikepala masyarakat Indonesia, sehingga kecerdasan dalam berpolitik dan berdemokrasi masih memerlukan proses yang panjang. Pemilih cerdas masih sedikit sekali dan itupun hanya dikalangan tertentu yaitu dikalangan intelektual, Mahasiswa dan aktivis LSM atau Ormas yang berbasis intelektual diwilayah perkotaan saja. Selain itu faktor kemiskinan yang ada dimasyarakat Indonesia membuat kebutuhan ekonomi alias pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lebih mereka kejar daripada hanya sekedar mendengarkan program – program para politisi yang ingin berkuasa namun akhirnya mereka tidak merasakan ada perubahan dalam kehidupan mereka. Sehingga dengan kondisi kebodohan dalam politik, dan kemiskinan dalam hal ekonomi, pemilih dikalangan masyarakat Daerah masih dapat dibeli dengan calon-calon penguasa yang memiliki modal besar. Artinya ruang demokrasi memang dibuka, bahwa rakyat bisa memilih langsung, akan tetapi ruang ekonomi tetap ditutup dan dikuasai sehingga yang terlihat dalam praktek Pilkada prosesnya nampak seolah-olah demokratis akan tetapi dikuasai oleh pemilik modal (suara bisa dibeli). Jadi wajar saja pemimpin yang dihasilkan dengan proses dagang, yang berarti jual beli, dimana calon penguasa yang berdagang dan masyarakat pemilih yang membeli, dampaknya adalah setelah membeli kekuasaannya, maka keuntungan yang sebesar-besarnya dari kekuasaan yang diraih adalah tujuannya.
2. Miskin Ideologi dan Visi
Kondisi saat ini, banyak Partai maupun politisi partainya tidak mempunyai ideologi yang jelas, orientasi yang ada hanyalah kekuasaan dan berbagi kue kekuasaan dengan proyek-proyek yang ada. Ideologi yang mendasari sebuah partai atau politisi dalam berfikir dan bertindak sama sekali tidak ada, berbeda dengan pada tahun 1955 bahwa ideologi sebuah Partai apapun itu Nasionalis, Agamis, Sosialis, Komunis, dan sebagainya benar-benar menjiwai para pemimpin dan politisinya, sehingga hasilnya adalah benar-benar pemimpin yang berjiwa kerakyatan, entah dari Ideologi apapun dia. sehingga tidak ada yang namanya kutu loncat, hanya karena orientasi kekuasaan seperti dizaman saat ini, banyak politisi ataupun pemimpin partai yang dengan gampang berpindah partai dari partai A kepartai B, ataupun kepartai C dan bisa langsung menjadi ketua partainya asalkan punya modal yang memadai. Lebih parah lagi apabila pemimpin, ataupun politisi yang ada bahkan tidak mengerti tentang AD/ART Partainya, dan tidak mengerti Visi dari Partai dan daerahnya, kalaupun ada visi itu hanya slogan yang kosong tidak untuk dijalankan, hanya sekedar pemanis dalam berkampanye.
3. Miskin Karakter Kepemimpinan
Kepemimpinan saat ini banyak sekali yang tidak melalui proses pematangan, artinya serba instan ataupun cangkokan, sehingga hampir tidak ada pemimpin yang memiliki karakter yang kuat sebagaimana para founding fathers kita terdahulu. Karakter pemimpin dibentuk sejauhmana dia mengalami proses pematangan dalam memimpin, dan proses itu tidak serta merta membuat dia menjadi pucuk kepemimpinan akan tetapi dimulai dari bawah dan karakternya terbentuk dengan proses dan pengalaman yang begitu banyak. Seperti kata pepatah “Pelaut yang ulung itu dihasilkan dari semakin banyak Badai dan ombak yang dihadapi “ kita tidak akan pernah tau keunggulan seorang pelaut yang tidak pernah menghadapi badai dan ombak, begitu juga seorang pemimpin, Pemimpin yang berkarakter harus terbentuk oleh alam dan prosesnya pun alami tidak bisa karbitan. Tidak seperti saat ini apabila dia sorang anak pejabat ataupun pemilik modal maka dia dapat membeli kepemimpinan di sebuah organisasi ataupun partai, sehingga pemimpin yang ada adalah pemimpin yang cengeng, tidak mandiri dan bergantung pada kebesaran orang lain (bapaknya ataupun keluarganya). Seorang filosof pernah berkata bahwa “kepemimpinan itu adalah paduan dari Karakter dan Strategi, namun apabila harus memilih maka Pilihlah KARAKTER.

Dari Sekian banyak permasalahan kepemimpinan, tiga permasalahan yang tersebut diatas untuk saat ini mungkin yang menjadi kontradiksi pokok dalam mencari kepemimpinan yang ideal di Daerah-daerah di Indonesia. Oleh karenanya yang harus dilakukan oleh anak bangsa yang masih memiliki kepedulian terhadap miskinnya kepemimpinan di Republik ini baik pemimpin skala nasional ataupun daerah adalah melakukan pencerdasan disegala bidang, baik politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya, kepada massa rakyat semassif-massifnya dan seluas-luasnya, dan tugas pencerdasan tersebut adalah tanggung jawab kita semua, sehingga rakyat menjadi cerdas dalam memilih pemimpinnya sendiri.
Kemudian pengenalan tentang pemahaman dan pemikiran ataupun ideologi yang benar terhadap rakyat dan pelaku-pelaku politik, sehingga ada model dan prinsip dasar yang melatarbelakangi setiap orang dalam menentukan pilihan kepemimpinannya. Selain itu apabila ada pemahaman dasar yang membentuk nilai kepemimpinan (ideologi) maka dengan sendirinya massa rakyat yang tercerahkan pasti akan memberikan hukuman sosial terhadap pemimpin semodel ” kutu loncat” ataupun “Bunglon”.
Pendidikan karakter bangsa harus menjadi perhatian dan perlu dilakukan mulai dari tingkat pendidikan yang terendah, bagaimana karakter bangsa yang Mandiri, bagaimana karakter Bangsa Indonesia yang sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila dan nilai-nilai budaya Indonesia yang luhur. Saat ini kita tau bahwa zaman Kapitalisme dimana dalam teori Marxis; Kapitalisme adalah sebuah paham ataupun tahapan masyarakat yang berdasarkan pada kepemilikan modal, artinya pemilik modal yang menjadi penguasa, semua dapat dibeli oleh uang dan uang yang berkuasa, maka karakter suap dan korupsi yang berkembang, dan karakter korup ini yang harus dilawan dengan sungguh-sungguh, dan memerlukan proses yang panjang dan berliku, karena yang akan dihadapi adalah kaum pemilik modal yang berkuasa.
Namun harus ditanamkan dalam Hati kita, dan kita harus optimis serta terus berupaya bahwa suatu saat akan muncul pemimpin-pemimpin yang baik, berkarakter , dan bersih di bumi pertiwi tercinta ini, Pemimpin yang benar-benar muncul melalui proses pematangan yang alami (bukan Karbitan) baik skala nasional dan daerah, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang jaya di dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun