Pagi kompasianer,
Ada kalanya hidup terasa berat. Kita mengeluh. Kita menggerutu. Kita merasa lelah dan tak jarang menyalahkan keadaan. Di titik itu, sering muncul anggapan bahwa mengeluh adalah kelemahan, seakan kita gagal menjadi pribadi yang kuat dan tegar. Padahal, mengeluh justru bukti nyata bahwa kita manusia punya rasa, punya batas, dan punya luka.
Namun, di dalam Embuhisme---cara berpikir embuh atau mbuh priben carane, kersane Gusti Allah mengeluh bukanlah sekadar pelampiasan. Mengeluh adalah cermin kesadaran. Sebab saat kita sadar sedang mengeluh, kita sedang belajar mengenali diri: "Oh, ternyata ada bagian dalam hidupku yang belum selaras."
Embuhisme mengajarkan bahwa hidup ini bukan selalu soal jawaban, tapi lebih sering tentang menerima ketidakpastian. Embuh bukan berarti menyerah tanpa arah, melainkan sebuah ruang hening di mana manusia mau mengakui keterbatasannya, lalu menyerahkan hasil pada kehendak Ilahi. Dalam ruang itu, keluhan berubah bentuk: dari sekadar keluh-kesah menjadi doa, dari rasa berat menjadi pelepasan, dari keterikatan menjadi penerimaan.
Bayangkan seseorang berkata, "Aku capek, aku bingung, aku nggak tahu harus bagaimana... embuh, kersane Gusti Allah." Kalimat sederhana itu menyimpan kebijaksanaan. Di satu sisi ada pengakuan jujur atas kelemahan diri, di sisi lain ada ketundukan penuh kepada Yang Maha Mengatur. Inilah inti mengeluh dengan kesadaran.
Filosofinya begini: mengeluh tanpa kesadaran hanya akan melahirkan penderitaan baru, menambah gelap pada kegelapan. Tapi mengeluh dengan kesadaran adalah titik balik, sebuah jeda untuk menyadari bahwa kita tidak sedang sendiri. Ada Tuhan yang hadir dalam setiap tarikan napas, ada kehidupan yang sedang menata keseimbangannya sendiri.
Embuhisme memandang keluhan sebagai bagian dari harmoni. Sama seperti malam yang tak bisa dipisahkan dari siang, mengeluh tak bisa dipisahkan dari syukur. Keduanya berjalan berdampingan. Kita boleh menangis karena luka, tapi kita juga belajar tersenyum dalam penerimaan.
Akhirnya, mengeluh dengan kesadaran bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian. Berani jujur pada diri sendiri, berani melepas kendali, dan berani percaya bahwa ada rencana besar yang tak selalu bisa dipahami oleh logika manusia.
Dan di situlah embuh menemukan makna terdalamnya: seni merangkul keluhan dengan kesadaran, lalu menyerahkannya pada pelukan takdir yang lebih luas dari sekadar keinginan diri.
{{{ Positif, Sehat dan Bahagia }}}
Brebes, 10 September 2025
Aziz Amin | Wong Embuh, Trainer & Profesional Hipnoterapis di Griya Hipnoterapi MPCÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI