Mohon tunggu...
Azizah Mizani Salman
Azizah Mizani Salman Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis bukan sekadar berbagi, tapi juga belajar memahami dunia dari sisi lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Bahasa Daerah Dianggap "Tidak Keren" atau "Hambatan Profesional"

8 Oktober 2025   21:35 Diperbarui: 8 Oktober 2025   21:31 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam ruang rapat korporat atau di sela-sela obrolan kafe yang dihiasi laptop mahal, Anda mungkin pernah mendengar seseorang secara tak sadar menghentikan logat daerahnya saat berbicara, atau menyisipkan istilah bahasa Inggris yang sebenarnya tidak perlu. Fenomena ini bukan sekadar pergantian kata; ini adalah pergeseran semiotik yang dramatis. Bahasa daerah, yang seharusnya menjadi cermin kekayaan identitas dan aset budaya, kini telah mengalami degradasi makna. Ia berhenti berfungsi hanya sebagai alat komunikasi (denotasi) dan berevolusi menjadi sebuah tanda (sign) yang sarat dengan konotasi negatif.

Dalam konteks sosial-profesional modern, bahasa daerah seringkali dipandang sebagai tanda yang mengonotasikan "kampungan", "kurang pendidikan", atau bahkan "hambatan professional" yang harus disembunyikan agar diterima. Sebaliknya, kefasihan berbahasa asing atau penggunaan bahasa Indonesia yang "bersih" telah menjadi tanda yang mengonotasikan "kecerdasan", "modernitas", dan "status sosial" yang tinggi. Ironisnya, alih-alih merayakan kemajemukan, secara kolektif kita telah menyepakati sebuah mitos budaya baru, bahwa identitas lokal adalah sebuah beban yang harus ditanggalkan demi kesuksesan.

Masalah mendasar yang harus kita hadapi adalah bahasa daerah telah berhenti menjadi penanda netral dari lokasi geografis atau garis keturunan, melainkan telah menjadi tanda sosial yang aktif menghambat mobilitas vertikal dan memicu self-censor (penyensoran diri) bagi penuturnya. Secara denotatif, bahasa daerah adalah warisan leksikal yang memperkaya bangsa. Namun, di bawah permukaan, secara konotatif, maknanya telah runtuh. Jika di masa lalu, bahasa ibu adalah tanda kehangatan, keaslian, dan akar, kini di ruang-ruang yang "penting", ia telah disulap menjadi tanda keterbelakangan, ketidakmampuan beradaptasi, dan provinsialisme.

Pergeseran makna ini menciptakan hierarki linguistik yang tak terucapkan. Bahasa daerah diletakkan di posisi paling bawah, menjadi sesuatu yang hanya layak diucapkan di ruang-ruang pribadi atau ketika sedang bercanda. Sementara itu, di puncak hierarki, terletak kemampuan berbahasa asing, tanda yang segera memberikan "identitas sosial" kepada penuturnya agar dianggap cakap dan visioner. Kontradiksi kultural inilah yang paling menyesakkan, kita merayakan keanekaragaman budaya sebagai aset nasional, tetapi pada saat yang sama, kita secara individu dan institusional menghukum penutur yang membawa keanekaragaman itu ke dalam ruang profesional. Masalahnya bukan lagi soal kemampuan untuk berkomunikasi, tetapi tentang penyematan identitas, apakah bahasa daerah Anda memberi Anda izin untuk dihormati, atau justru mencabutnya.

Secara tak sadar, telah terbentuk sebuah "kamus" di tempat kerja. Di sini, penggunaan logat daerah yang kental dalam presentasi atau rapat penting segera memicu pembacaan tanda negatif, logat tersebut ditafsirkan bukan sebagai kekhasan, melainkan sebagai provinsialisme. Ini adalah signifier yang merujuk pada signified berupa keterbatasan jejaring, minimnya paparan terhadap dunia luar, atau bahkan kurangnya pendidikan formal yang mampu "menghilangkan" logat tersebut. Contohnya, penggunaan kosakata daerah sebagai interupsi kode (code interruption). Ketika seseorang secara refleks menyelipkan kata dari bahasa ibunya saat sedang membahas proyek, reaksi yang diterima seringkali adalah tawa canggung atau pertanyaan, "eh, bahasa apa itu?" Pertanyaan tersebut terdengar netral, tetapi sebenarnya membawa konotasi bahwa bahasa Anda tidak pada tempatnya. Bahasa daerah diizinkan di lobi atau di dapur, tetapi ia dilarang di ruang pengambilan keputusan karena dianggap mengganggu keseriusan dan formalitas.

Dalam konteks persaingan kerja, stigma ini memiliki dampak ekonomi yang nyata. Banyak penutur secara sadar menyensor diri mereka dengan meniru intonasi dan gaya bicara "bahasa Jaksel" untuk meningkatkan peluang karier. Mereka meyakini bahwa, untuk menaiki tangga sosial-ekonomi, mereka harus menanggalkan identitas lokal mereka. Mereka dipaksa memilih antara akar budaya yang membesarkan mereka, atau identitas sosial yang menjanjikan kesuksesan finansial. Jelas, ini bukanlah pilihan yang adil.

Di mata masyarakat urban dan korporat, code-switching adalah tanda performatif (performative sign). Ia tidak hanya menunjukkan kemampuan berbahasa, tetapi juga berfungsi sebagai kode yang menunjukkan bahwa penuturnya telah melewati ambang batas pendidikan tinggi atau terekspos pada jaringan profesional internasional. Menggunakan kalimat seperti "let's finalize the report, ya, so we can pitch it to the board" secara instan menempatkan penuturnya dalam strata yang lebih tinggi daripada rekan yang menggunakan bahasa Indonesia dengan logat daerah yang kental. Inilah inti dari mitos profesionalisme Roland Barthes yang kini merajalela. Mitos ini menciptakan narasi bahwa untuk menjadi sukses, Anda tidak hanya harus mampu berbahasa Inggris, tetapi juga harus menampilkannya secara eksplisit dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Inggris dan code-switching pun direduksi menjadi aksesori bahasa, sebuah perhiasan yang wajib dikenakan untuk menunjukkan status.

Parahnya, perayaan terhadap code-switching ini terjadi bersamaan dengan penghukuman terhadap bahasa ibu. Kita memuji satu bentuk percampuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai progresif, sementara kita menstigma bentuk percampuran lainnya, seperti menggunakan bahasa Indonesia dengan logat atau kosakata daerah sebagai regresif. Kontradiksi ini secara efektif menancapkan inti bahwa akar lokal adalah beban, sementara koneksi terhadap dunia luar adalah modal. Selama persepsi tanda ini bertahan, upaya pelestarian bahasa daerah akan sia-sia karena kita telah meracuni nilai pasarnya di mata generasi muda.

Kita telah membongkar, melalui perspektif semiotika, bahwa perjuangan bahasa daerah bukanlah semata-mata masalah tata bahasa atau kurikulum sekolah, melainkan sebuah peperangan makna. Bahasa daerah telah diletakkan dalam hierarki sosial sebagai "tanda" keterbelakangan, sebuah beban identitas yang harus dicampakkan demi mendapatkan identitas sosial menuju kesuksesan. Ironisnya, di saat yang sama, kita merayakan code-switching sebagai "tanda" kecerdasan dan keterbukaan terhadap dunia luar. Kontradiksi inilah yang secara diam-diam memiskinkan jiwa kolektif kita.

Masalah ini mendesak karena konsekuensinya bukan hanya pada matinya kosakata, melainkan pada penyensoran diri yang dilakukan oleh para generasi muda. Ketika seorang anak muda memilih menyembunyikan logat bahasa ibunya, ia tidak hanya kehilangan bahasa, tetapi ia kehilangan kepercayaan diri terhadap warisan budayanya sebagai modal sosial. Ia dipaksa untuk percaya bahwa sebagian dari dirinya adalah sebuah hambatan. Oleh karena itu, tugas kita sekarang adalah melakukan resignifikasi, merebut kembali makna positif bahasa ibu. Hal ini membutuhkan tindakan kolektif. Para kreator harus mengubah bahasa daerah dari objek lelucon menjadi simbol orisinalitas dan kedalaman artistik. Kemudian. korporasi harus mengubah hambatan menjadi aset yang menunjukkan otentisitas dan koneksi emosional dengan konsumen. Setiap penutur juga harus menolak narasi bahwa kefasihan bahasa asing harus dibayar dengan pengorbanan akar lokal.

Melawan stigma "tidak keren" ini adalah sebuah tindakan perlawanan budaya. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa kemajemukan adalah kekuatan, bukan hukuman. Kita harus menjamin bahwa di ruang mana pun, mulai dari ruang rapat yang dingin hingga media sosial yang bising dengan bahasa ibu, kita kembali berkonotasi sebagai kebanggaan, kecerdasan, dan sumber kekayaan yang tak ternilai. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa kita tidak hanya menjadi bangsa yang fasih berbahasa asing, tetapi juga bangsa yang utuh dalam jati diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun