Mohon tunggu...
Azizah Herawati
Azizah Herawati Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh

Pembelajar yang 'sok tangguh'

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Masih Setia dengan Radio

11 September 2020   17:17 Diperbarui: 13 September 2020   22:32 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di radio...aku dengar... lagu kesayanganmu
Kutelepon di rumahmu...sedang apa sayangku 

Siapa yang masih ingat lagu ini? Ketahuan deh kalau sudah kepala empat! Ya, syair lagu almarhum Gombloh ini mengingatkan kita bahwa radio pernah primadona sebagai salah satu media yang digandrungi masyarakat.

Bagimana tidak? Saat itu televisi masih langka. Kalaupun ada, masih hitam putih. Harus nangga untuk  sekedar menikmati serunya lakon kethoprak di TVRI. Atau mengakhiri malam dengan melihat film cerita akhir pekan

Tak ayal lagi kalau radio pun jadi pilihan. Mendengarkan musik, menyimak serunya sandiwara radio atau sekedar cari teman bergadang dengan mengikuti sajian wayang semalam suntuk.

Tidak heran kalau saat itu lagu-lagu dari para penyanyi yang saat ini sudah gaek bahkan sudah almarhum begitu familiar dan sering disenandungkan sambil melakukan aktivitas.

Di bukit indah berbunga
Kau mengajak aku ke sana
Memandang alam sekitarnya
Karna senja tlah tiba

Lagu yang paling sering dinyanyikan anak-anak jamanku SD dulu. Rasanya melayang dengar lagu yang dilantunkan Uci Bing Slamet ini. Berduaan di sebuah bukit berbunga bergandengan. Ada yang memetik bunga lalu diselipkan di rambut. Sederhana tapi syahdu.

Siapa yang tidak teringat dengan Brama Kumbara yang begitu digdaya dengan ajian seratjiwa. Atau lincahnya Dewi Mantili. Sandiwara radio yang menyedot perhatian hampir semua kalangan saat itu.

Dibela-belain pulang sekolah berlari-lari, demi menyimak 'Saur Sepuh' beramai-ramai dengan mengerumuni radio jadoel merk National dengan amunisi empat baterai ABC berukuran besar. Uuuuh betapa serunya!

Atau mau dengar yang serem. Sambil membayangkan kepala tanpa jasad yang hidup dan terus mencari sang pembunuh yang tidak lain anak kandungnya sendiri. Bulu kuduk mulai berdiri saat 'sirah tanpa gembung' itu keluar diiringi backsound yang menyeramkan "Trinil, balekno gembungku!".

Takut tapi kepo! Itulah serunya menyimak radio jaman dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun