Mohon tunggu...
Bee Qolbi
Bee Qolbi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Universitas Negeri Malang dan santri PPTQ Nurul Furqon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Angkutan Konvensional Malang Berdemo, Salah Siapa?

10 Maret 2017   22:13 Diperbarui: 11 Maret 2017   08:00 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, Kota Malang dihebohkan dengan demo yang dilakukan oleh organda (organisasi angkutan daerah). Demo masal ini sebagai wujud protes mereka terhadap keberadaan transportasi berbasis online (TBO) yang beroperasi di Kota Malang. Sebelum demo pertama yang dilakukan (27/2) lalu, terjadi kericuhan antara taksi online dan angkutan konvensional.

Demo pertama tersebut berakhir di meja perundingan dengan menghasilkan keputusan angkutan online dilarang beroperasi di jalur yang biasa dilalui angkutan konvensional. Beberapa minggu kemudian, para sopir angkot ini berniat untuk melakukan demo kedua. Namun, demo itu bisa dialihkan ke mediasi yang dihadiri oleh walikota, dishub, perwakilan organda, dan perwakilan dari tranportasi online. Dari mediasi tersebut, diputuskan  bahwa ada 8 kawasan yang tidak boleh dijadikan kawasan mangkal oleh TBO. Transportasi online juga tidak boleh mengambil penumpang di kawasan tersebut.

Namun, dalam perjalanannya, menurut sopir angkot, TBO ini masih beroperasi di jalur yang telah dilarang. Argument mereka ini didasari dengan percobaan yang pernah dilakukan oleh salah satu sopir untuk memesan gojek. Nyatanya memang masih banyak dijumpai pengendara gojek yang mengambil penumpang sekalipun mereka tidak memakai seragam. Akibatnya, mereka pun resmi mengumumkan akan melakukan demo pada 6 maret 2017. Demo ini bisa dibilang lebih parah dari demo sebelumnya. Angkutan tersebut benar-benar tidak beroperasi hingga pukul 18.00 seperti yang telah ditentukan.

Sore hari, ribuan angkutan tersebut mogok di sekitar alun-alun malang. akibatnya, jalur lalu lintas dari arah barat dialihkan. Kemacetan pun tak terhindarkan. Sebagai pengguna angkutan konvensional, tentu saya merasa dirugikan.

Demo kedua ini tidak berakhir dalam satu hari. Namun, disusul hari berikutnya (7/3) dan mereka mengancam akan mogok beroperasi hingga walikota mengeluarkan keputusan finalnya perihal pelarangan operasi TBO. Dalam persepsi saya, kesepakatan yang sudah ditandatangani justru hanya secarik hitam di atas putih. Mereka tetap menuntut agar walikota malang menonaktifkan selamanya angkutan online. Padahal, di berbagai media massa abah anton sudah menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa menghentikan operasi angkutan online sebagai laju perkembangan teknologi.

Jika para sopir angkot ini mau berpikir sehat, tentu mereka tidak akan demo selama ini. Selain menimbulkan kekacauan lalu lintas, juga merugikan diri mereka sendiri. pendapatan yang seharusnya bisa mereka kumpulkan dalam waktu sehari, harus terbuang begitu saja. Warga yang biasanya menggunakan angkot justru mulai geram dan tidak lagi simpatik pada mereka. Banyak dari mereka yang akhirnya memesan gojek diam-diam atau memilih naik bentor (becak motor).

Kenyataannya memang warga lebih memilih transportasi berbasis android tersebut daripada angkutan konvensional. Layanannya yang ramah dan ketepatan waktu menjadi pertimbangan utama para penumpang dalam memilih tranposrtasi public. Kedua hal itulah yang sejatinya tidak dimiliki oleh angkutan konvensional. Jika pelayanan dan fasilitas tersbut diperbaiki, bisa jadi penumpang akan memilih angkutan umum yang lebih murah.

Alasan yang dipakai para sopir agkot dalam menuntut angkutan online ini sama sekali tidak mendasar. Mereka beralasan angkutan online tidak memiliki dasar huku, tidak dikenai pajak, dan mengambil alih penumpang mereka sehingga pendapatan para sopir angkot semakin hari kian menurun. Alasan sebenarnya adalah, mereka masih belum siap bersaing dengan perkembangan teknologi. Di daerah lain, angkutan online dan angkutan konvensional bisa sama-sama beroperasi tanpa harus ada polemik. Jika penumapng mereka kian sedikit, tidak semata disebabkan oleh adanya transportasi online, namun juga laju perkembangan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor yang semakin pesat setiap tahun. Dengan harga yang sangat murah, masyarakat bisa memiliki kendaraan pribadi dengan kecepatan tinggi. Seandainya jumlah kendaraan pribadi tidak banyak, tentu masyarakat akan banyak yang menggunakan jasa transportasi umum. Baik online maupun konvensional. Jadi, siapa yang seharusnya didemo? Angkutan online atau perusahaan pembuat sepeda motor yang menjual dengan harga murah?

Sebagai walikota, mungkin abah anton sudah geram menanggapi para sopir angkot ini. Mungkin lebih baik mereka didiamkan hingga akhirnya mereka bosan berdemo dan bisa menerima kenyataan bahwa kemajuan teknologi dalam wujud angkutan online tidak bisa ditepis begitu saja.

Opsi penyelesaian yang bisa ditawarkan yakni dengan membatasi jumlah angkutan online. Selain itu, perlu dilakukan pula perluasan jalur bagi angkutan konvnesional, penyeimbangan jumlah angkutan konvensional dengan kebutuhan masyarakat di jalur yang dilalui, dan tentunya perbaikan fasilitas dan layanan pada angkutan konvensional. Tanpa adanya usaha berbenah, sekalipun walikota sudah menonaktifkan angkutan online, tentu masrayakat tetap tidak akan menggunakan angkutan umum tersebut untuk bepergian.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun