Cinta sering digambarkan sebagai sesuatu yang indah, manis, dan penuh kehangatan. Namun, tidak semua cinta membawa kebahagiaan, karena ada kalanya cinta berubah menjadi racun yang diam-diam merusak dari dalam. Bukan membunuh dalam sekejap, melainkan melemahkan dengan perlahan, hingga seseorang tak lagi mengenali dirinya sendiri. Inilah yang dikenal sebagai toxic relationship, sebuah hubungan yang secara emosional sangat menguras energi dan meninggalkan luka.
Sebuah studi yang diterbitkan di International Journal of Body, Mind and Culture menyoroti bagaimana seseorang yang mengalami toxic relationship harus berjuang dengan berbagai strategi coping untuk sekedar bertahan. Mereka menghadapi kontrol emosional, ketidakpastian, dan manipulasi psikologis yang mengikis percaya diri. Penelitian lain berjudul PTSD (post-traumatic stress disorder) menyebutkan orang dengan perlakuan ini rentan mengalami gejala stres pascatrauma. Studi ini menunjukkan bahwa toxic relationship bukan hanya istilah populer, tapi realitas dengan siklus yang berdampak serius pada kesehatan mental.Â
Siklus ini tidak langsung mengubah cinta menjadi benci, melainkan menjadi racun yang merusak. Pola-pola manipulatif ini kerap bersembunyi di balik kata "kasih sayang," seperti pada perlakuan love bombing, breadcrumbing, dan gaslighting.
Love Bombing: Hujan Cinta Yang beracun
Bayangkan seseorang selalu memberi perhatian, pujian, menghubungi setiap waktu, sering kirim hadiah, bahkan menjanjikan masa depan. Emang siapa sih yang nggak suka? tapi hati-hati, apa ini benar cinta sejati atau malah umpan yang mematikan.Â
Love bombing sering datang dalam bentuk hujan cinta yang beracun, dimana pelaku menunjukkan ketertarikan masif yang membuat kamu merasa istimewa dan yakin telah menemukan belahan jiwa. Padahal itu trik manipulatif yang sangat toxic. Menurut psikolog, love bombing sering digunakan individu dengan kecenderungan narsistik untuk mendapatkan kendali penuh. Mereka membuat ikatan emosional yang kuat namun palsu untuk menciptakan ketergantungan dan "hutang cinta". Orang dengan luka emosional atau kebutuhan validasi tinggi seringkali menjadi sasaran empuk, karena mereka cepat tenggelam dalam lautan perhatian yang terasa begitu melegakan.Â
Masalahnya hal ini tidak lama, setelah mendapatkan "hati", perhatian akan surut sampai korban bingung dan bertanya, apakah ada yang salah pada dirinya? atau apa hubungannya sudah tidak berharga? Pertanyaan ini akan membuat korban semakin haus kasih sayang dan berlanjut pada pola berikutnya.
Breadcrumbing, Remahan Roti yang Bikin Makin Lapar
Setelah hujan cinta berakhir, bukan pelangi yang muncul, melainkan "remahan" roti yang bikin kamu makin lapar. Breadcrumbing adalah saat dimana dia mengurang effort secara signifikan dengan ngasih kamu perhatian kecil seperti pesan singkat, like di medsos atau janji yang tidak terjadi. Ini cukup untuk membuat seseorang bertahan dan berharap, tapi tidak pernah cukup untuk membangun hubungan yang sehat.
Intermittent reinforcement adalah prinsip psikologi yang bisa menjelaskan kenapa kamu tetap stay. Ketika pasangan memberi perhatian yang tidak teratur, otak akan cenderung lebih gigih untuk mengejarnya. Sehingga harapan kembalinya masa-masa penuh cinta akan membuat kamu bertahan dalam komitmen semu meskipun kelaparan secara emosional. Sadly, you're trapped!
Gaslighting, Racun yang Sebenarnya
Sudah terjebak, terkurung pula. Setelah mengalami breadcrumbing era, kamu akan mulai mempertanyakan perubahan sikapnya. Tapi bukan jawaban yang didapat, melainkan kekerasan emosional yang membuat kamu meragukan perasaan, ingatan, bahkan kewarasan. "perasaan kamu aja itu", "kapan aku kayak gitu?", "kalau nggak cinta, kenapa dulu aku kirim hadiah tiap hari?" Familiar dengan kata ini? Bisa jadi kamu terkena gaslighting.
Gaslighting adalah perilaku memutar balikkan fakta sehingga menyebabkan kebingungan. Hal ini bikin kamu bertanya-tanya "apakah benar dia berubah atau aku yang berubah?". Sebuah penelitian menunjukkan bahwa gaslighting dapat meninggalkan dampak jangka panjang berupa rusaknya kepercayaan diri dalam mengambil keputusan, termasuk pada hal kecil diluar hubungan. Kamu akan meragukan insting dan bergantung pada pelaku hingga kehilangan diri sendiri
Gaslighting adalah racun yang sebenarnya karena bukan hanya menghancurkan hubungan, tetapi juga merusak fondasi diri seseorang. Efeknya bisa bertahan lama, bahkan setelah hubungan berakhir seperti hadirnya perasaan bersalah yang tidak jelas, kebingungan tentang realitas, hingga trauma untuk memulai hubungan baru.
Melepas jeratan dan Menjauh Pergi
Tiga perlakuan diatas memang bisa berdiri sendiri, tapi seringkali saling berkaitan dengan memainkan dinamika psikologis yang traumatis. Ini adalah siklus yang terus-menerus mengikis rasa percaya diri, memicu kecemasan, dan membuatmu semakin sulit untuk keluar dari hubungan tersebut. Ironisnya, korban seringkali menyalahkan diri sendiri dan berpikir bahwa jika mereka berusaha lebih keras, cinta yang sempurna di awal akan kembali. Namun, yang mereka cari hanyalah ilusi yang dirancang untuk menjerat.
Kamu perlu mengenalinya untuk melepas jeratannya. Saat merasa terjebak, validasi dulu perasaanmu karena kamu yang merasakan. Lalu lakukan langkah ini untuk mempermudah:
Percayai intuisimu. Ketika merasakan ada yang salah, maka kemungkinan besar itu memang salah. Percaya pada diri sendiri adalah keputusan terbaik.
Catat kejadian. Saat pasangan berperilaku yang menurut kamu salah, catat kejadiannya. Bukan untuk mengungkit kesalahan, melainkan menjadi guide agar kamu tidak bingung.
Cari bantuan profesional. Jika kejadian semakin parah, jangan ragu untuk mencari bantuan psikolog. Validasi dari ahli dapat membantu melepaskan diri.
Setelah lepas jangan ragu untuk lari sekencang-kencangnya dan menjauh pergi dari cinta yang manipulatif ini. Memahami pola-pola yang tersembunyi di balik kata "kasih sayang" bukan soal FOMO, ini soal melindungi diri dan membangun hubungan yang sehat, di mana perhatian dan kasih sayang tumbuh secara seimbang, bukan menjadi alat manipulasi. Cinta sejati adalah aliran yang konsisten, menyejukkan, dan membuat kedua belah pihak merasa aman.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI