Mohon tunggu...
Azhar Nasih
Azhar Nasih Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Pengamat pendidikan dan praktisi bisnis (newbie)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bom Waktu Si Kotak Ajaib

2 Mei 2016   11:32 Diperbarui: 1 Januari 2021   18:09 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bom Waktu Si Kotak Ajaib

Komersialisasi siaran televisi menjadi cikal bakal produksi tayangan bobrok yang meracuni siapa saja yang menontonnya. Fakta acapkali diputarbalikkan dengan dusta, dan dusta menjadi fakta. Hal negatif ringan saja disajikan asal menghasilkan berjubel jubel uang. Hal inilah yang dapat merusak pemikiran anak bangsa hingga akhirnya menimbulkan perilaku negatif. Ketika perilaku negatif itu sudah lekat dimasyarakat, maka rusaklah negara ini.

Atas kepentingan komersialisasi, semakin banyak hal negatif mewarnai dunia layar kaca. Bisa anda koreksi satu persatu dan hitung berapa banyak presentase hal negatif yang disajikan daripada hal positif. Padahal, hampir setiap rumah yang kita temui di Indonesia setidaknya memiliki satu televisi, bahkan ada yang memiliki dua atau lebih. Sehingga mudah saja tayangan negatif merasuki paradigma masyarakat, bagaikan virus yang bisa membuat wabah penyakit.

Dahulu memang stasiun televisi di Indonesia hanya TVRI yang menyajikan berita-berita penting. Lantas muncul beberapa stasiun televisi, salah satunya TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), dengan misi menyajikan siaran yang mendidik. Tetapi, siapa sangka pada akhirnya menyiarkan acara-acara tak mendidik dan bobrok seperti dangdut yang mengumbar aurat hingga akhirnya ditutup dan diakuisisi oleh perusahaan lain.

Efek negatifnya bagi anak, dengan sering lamanya menonton televisi membuat anak pasif secara sosial. Anak akan jarang bergaul dengan dunia nyata, lebih banyak berimajinasi dengan dunia televisi. Ketika menontonpun sang anak dalam posisi pasif, hanya berdiam diri menerima informasi digital yang disampaikan. Tentu ini berdampak secara fisik bagi kesehatan sang anak. Si anak akan lebih memilih menonton televisi ketimbang belajar atau membaca, karena aktivitas menonton mudah saja dilakukan. Apa jadinya bila agen perubahan masa depan bangsa tidak bergiat untuk belajar, hari esok tentu akan suram menanti.

Tayangan dan berita kekerasan di media meningkatkan kegelisahan, ketakutan, dan perilaku agresif, serta masalah pendidikan dikalangan anak-anak. Tidak heran anak-anak zaman sekarang ketika diperingati akan kesalahannya malah membangkang bahkan melawan. Masalah kekerasaan tidak hanya persoalan diranah dunia anak, bahkan kasus kekerasan orang dewasa seperti kisruh demonstrasi, tawuran pelajar, dan pembunuhan kian menjadi hobi masyarakat kita. Sebut saja penembakan anggota POLRI, pembunuhan Sisca di Bandung, pembantaian Lapas Cebongan, Tawuran antar masyarakat dan masih banyak lagi.

Tayangan seperti sinetron dan (un)reality masih menjadi primadona dimasyarakat. Saya menilai tayangan sinetron Indonesia sebagian besar mengandung unsur pendidikan yang buruk. Sinetron favorit remaja yang menggambarkan kehidupan di sekolah seringkali menonjolkan hal-hal berbau romantisme. Sekolah kerap dijadikan tempat untuk menyemai romantisme dengan lawan jenis, bukan malah sebagai tempat belajar. Semangat seorang remaja yang keren dan sukses bukan digambarkan sebagai remaja yang taat dengan berbagai aturan dan memiliki prestasi tinggi, melainkan remaja yang sukses memiliki pacar dengan paras cantik entah bagaimanapun caranya. Bukankah hal ini mempengaruhi orientasi kehidupan remaja?

Belum lagi tayangan sinetron telenovela yang digemari oleh ibu-ibu, memiliki persuasi terhadap sifat buruk yang banyak. Entah itu mencibir, menggosip, berbohong, berlaku licik dan lain sebagainya. Ditambah figur-figur dalam sinetron, walaupun berjubah seorang ahli agama tak ubah layaknya profokator kerusuhan, padahal pendidikan yang paling ampuh adalah melalui teladan. Figur tersebut ditemui seperti dalam sinetron “Para Pencari Tuhan”. Apa jadinya bila yang menjadi teladan anak bangsa adalah figur semacam itu?

Figur semacam itu tak hanya tampil dalam sinetron, hampir seluruh program komersial untuk menarik minat penonton ditampilkan figur yang nyeleneh. Sebut saja seorang presenter dengan inisial OS dalam program “Dahsyat” sangat laris diberbagai program televisi. Walaupun jelas dia adalah laki-laki, tetapi perilakunya kerap meniru perempuan atau berperilaku banci. Selain itu, pelecehan verbal terhadap kawan dalam satu programnyapun sering dilakukan. Hal ini bisa menimbulkan krisis identitas bagi masyarakat kita. Ataupun figur seorang presenter wanita berinisial S, dengan program di salah satu stasiun televisi yaitu “Show_imah”, presenter tersebut kian mewarnai sajian layar kaca yang nyeleneh. Perilaku berlebihan dan minim etika sering ditampilkan oleh presenter tersebut, seperti tertawa sekencang-kencangnya, berguling-guling dan jungkir balik, padahal dia adalah seorang wanita dan seorang ibu. Sikap kewanitaan serta sopan santun kerap tidak ditampilkan.

Atmosfer politik Pemilu 2014 tentu ikut andil dalam dunia pertelevisian belakangan ini. Bahkan pemilik perusahaan-perusahaan televisi ikut terjun dalam gemerlap Pemilu 2014, baik mencalonkan diri menjadi Presiden ataupun Wakil Presiden. Saya tidak tahu, konspirasi seperti apa yang akan terjadi demi mewujudkan suksesnya jalan politik si pemilik stasiun televisi. Bisa jadi program yang disiarkan sudah tidak netral dan menyajikan berita yang kurang benar untuk masyarakat.

Budaya-budaya barat yang ditayangkan televisi dapat menimbulkan gegar budaya (cultural shock) bagi masyarakat kita, terutama pemuda. Karena pemuda yang memiliki potensi tinggi untuk mengadopsi budaya tersebut. Adegan dewasa yang menggambarkan budaya pergaulan barat kerap ditampilkan dalam film-film di televisi buatan negara barat. Belum lagi program televisi dari barat yang saat ini mudah diakses. Kebiasaan minum minuman keras pun kerap ditampilkan, ini memberikan gambaran bahwa minuman keras adalah hal biasa dan boleh. Padahal jelas hal ini tidak sesuai dengan budaya yang kita miliki. Banyak berita di negeri ini yang menyajikan fakta minuman keras berujung pada pembunuhan, pemerkosaan atau hal mengerikan lainnya. Adapula budaya berpakaian minim, padahal sudah jelas negara kita memberlakukan undang-undang pornografi.

Berita korupsi, kriminalitas, gosip berbalut kebohongan dan berita negatif lainnya perlahan menggerogoti idiologi bangsa ini. Jarang kita mendengarkan berita positif pembangun optimisme bangsa. Inilah penjajah kontemporer bangsa ini, pesimistis dan lunturnya rasa percaya diri. Berbagai keterpurukan Indonesia menjadi doktrin pesimistis yang disajikan televisi. Hal ini membuat bangsa kita diliputi pesimistis yang membludak. Tak hanya itu, berita dalam siaran televisi terlalu banyak menyajikan hal-hal negatif dibandingkan hal-hal positif bangsa ini. Bukan malah mempersatukan, justru dapat menimbulkan perselisihan dalam tubuh bangsa ini. Berita kerusuhan, pembunuhan atau pemerkosaan berulang-ulang diulas bahkan ditayangkan dalam investigasi khusus, sedang dikemanakan berita-berita prestasi bangsa ini yang dapat membangun optimisme dan nasionalisme?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun