Memang siapa sih yang mengharuskan nikah? Adat? Agama? Tuhan? Dalam pikiran Sasha, harusnya Tuhan dan Agamanya itu menurut  Sasha membuat hidup manusia jadi damai dan bahagia, adat juga harusnya dibubarkan saja, bukannya bikin persoalan demi persoalan yang sama sekali tidak membuat damai.
Kalau cuma butuh uang, Sasha merasa bisa sendiri cari uang. Kalo hanya soal seks, buat apa dildo dijual? Keturunan? tidak perlu nikah juga bisa. Adopsi saja anak, angkat saja dari panti asuhan mana saja, beres. Tidak perlu nikah. "Ogah. pokoknya ogah!"Â
"Ayah sudah muak, Sha! Sudahi pikiran-pikiran sesatmu itu, bacaan-bacaan dari Barat itu, biar Ayah bakar bukumu!" Ayah bangkit hendak masuk kamar Sasha. Perempuan yang sudah merasa dewasa itu pun segera mencegah lelaki tua itu dengan pasang badan di depan pintu kamar mendahului Ayah.
"Apa? mau bakar buku Shasha? Bakar saja tubuh Sasha sekalian, Yah! Apa nggak  tahu selama ini Ayah dan Bunda sudah membuat neraka dalam dunia Sasha? Ya, itu desakan-desakan dari kalian berdua!"
Tinggal Ayah dan Bunda terdengar berbicara entah apa dibalik pintu. Sasha tidak peduli. Mungkin mereka berpikir, apakah cara mereka mengasuh Sasha salah, sampai-sampai sang putri berkembang dengan pemikiran begitu rupa? Apa yang salah? Apa? Begitu barangkali. Tidak. Sasha rasa harusnya mereka bangga, bukankah hebat  punya seorang putri yang mandiri dan memiliki prinsip?
Berkali-kali mereka mencarikan Sasha jodoh, Bahkan sampai seluruh keluarga besar ikut-ikut mencarikan. Tapi nihil. Sasha telah lama menunggu  mereka menyerah tapi tak jua menyerah.  Harusnya Sasha adalah putri kebanggaan mereka.
Selesai kuliah dalam tiga tahun, anak paling berprestasi di sebuah Universitas Negeri di Surakarta. Jadi andalan keluarga. Mengajar di sebuah sekolah internasional, apa yang kurang? Apa kata orang-orang? Bagaimana muka Bunda bilamana bertemu ibu-ibu pengajian? Bagaimana pengang kuping Ayah ditanya teman sejawat. Bagaimana menjawab pertanyaan keluarga besar? Bikin Pusing! Makan tuh omongan orang! Begitu pikir Sasha.
Dengan segala apa yang dialaminya, Â Sasha adalah potret seorang perempuan mandiri secara finansial dan intelektual yang juga barangkali memang telah lama terdoktrin oleh banyaknya bacaan yang kadangkala ditelannya mentah-mentah begitu saja. Banyak sekali di jaman ini orang-orang yang merasa berilmu seperti Sasha, yang kemudian melupakan soal-soal adab. Terlebih adab pada orangtuanya sendiri. Padahal, bukankah katanya orangtua adalah pengejawantahan Tuhan di muka bumi?
Bila saja, Sasha mau mencoba menggali ajaran nenek moyangnya sendiri tentang bagaimana cara hidup yang membuat batinnya tenang, tidak akan terjebak oleh pergolakan-pergolakan semacam itu.Â
Salah satunya adalah ajaran Sangkan Paraning Dumadi, yang juga melekat dalam nilai-nilai di dalam ajaran agama manapun. Bahwa hidup ini sebenarnya hanyalah tempat persinggahan sementara sebelum manusia kemudian akan meninggalkan seluruh urusan dunianya untuk kembali pada Tuhan.Â
Sasha barangkali telah lama tidak mendengarkan atau merasa bosan dengan pepatah lama  yang diucapkan Ayah atau Bunda-nya, "Prasasat urip iku koyo wong mampir ngombe" Hidup di dunia itu seperti orang numpang minum. Sekejap saja.Â