"Bagaimana lagi, Gan, memang kondisi semua-mua serba susah. Seminggu ini saja bisa dihitung jari orang yang cetak. Banyak orang kawin tapi nggak banyak yang pesen undangan. Saya pun kemarin kawin nggak pake undangan. Kampanye udah nggak begitu butuh spanduk dan kaos sebab ada buzzer, anak sekolah dan mahasiswa juga pada belajar di rumah, bagaimana ya Gan?"
Bos Besar masih terus terdiam sambil sesekali menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan desahan keras.
"Apa kita tutup saja usaha Juragan ini?"
"Dengkulmu! Saya masih sanggup gaji kalian. Usaha saya bukan cuma percetakan ini saja. Masih banyak lubang lain. Perihal usaha memang ada pasang-surut itu biasa, jangan terlalu dipikirkan. Doakan saja supaya usaha kita ini tetap berjalan, situasi bisa kembali seperti semula. Oiya, maaf saya nggak sempat hadir di acara pernikahanmu. Ini buat kamu. Selamat ya."
"Terima kasih banyak Gan. Nggak perlu repot-repot seharusnya. Lantas, kenapa tampang Juragan suram begitu?" Pono meraih amplop dan mengintip isinya. Lima lembar uang seratus ribu.
"Haduh. Itulah. Sudah seminggu lebih saya nggak bisa BAB.
Ini sekalian, belikan saya pepaya, atau obat pencahar.Percayalah, sesukses-suksesnya orang, sekaya apapun orang, kalau nggak bisa kentut atau BAB itu nggak ada artinya." Jawab Bos Besar sambil menyerahkan uang seratus ribu di meja.
"Oh."