....
"Sekarang, aku tanya sekali lagi, aku harap kamu jujur No, bicara yang benar seperti alamarhum bapakmu, jangan berbelit. Koperatif sedikit, aku masih menghargai Kang Yono, bapakmu itu sudah kuanggap sebagai kakakku ku sendiri. Jangan bikin keterangan palsu, nanti salah-salah ku jebloskan kamu ke penjara."
Pono tersudut. Peluh semakin membanjiri dahinya. Rambut gondrongnya diikat ke belakang, hawa semakin panas sampai tanpa sadar kaus hitam bersablon tulisan The Beatlesnya itu juga telah basah. Padahal baling-baling kipas angin besar yang  menggantung di langit-langit itu berputar dengan cepatnya, namun tetap saja atmosfer seketika terasa lebih panas daripada biasanya.Â
Malam telah begitu larut, baru saja jam kuno berbandul yang bersandar pada dinding tengah ruang tamu itu berdentang sebelas kali. Ia sekarang berada di rumah Yu Darsih, di hadapannya kini empat orang sepuh duduk di sofa. Raut wajah mereka tegang. Daeng Andi di sisi kanan, Kapten Darso, suami Yu Darsih, masih menggunakan seragam lengkap polisinya dan sedari tadi menginterogasinya duduk di sofa panjang tengah. Sementara Kang Parto si hansip dan seorang lagi adalah bapak tukang ojek online duduk di sofa yang terpisah sedikit sebelah kiri. Di antara Pono dan ketiga orang tua itu hanya terpisah oleh meja kaca persegi panjang yang rangkanya dibuat dari kayu jati berukir dari jepara. Di atasnya ada empat cangkir kopi hitam pekat yang sudah dingin, asbak penuh puntung  rokok berbatang-batang, dan kepulan asap yang membumbung tinggi ke udara kosong dari rokok yang masih terbakar yang diselipkan pada jari-jari ketiga orangtua itu.
Pikiran Pono bingung, sial sekali rasanya ketiga bocah itu membawanya pada perkara pelik macam ini. Matanya sekali-sekali membuang pandang ke arah foto-foto keluarga Kapten Darso di dinding sebelah kanan. Di dekatnya ada pintu menuju kamar Yu Darsih. Didalamnya, tuan rumah sudah mengamankan bayi-bayi itu dalam kamarnya, mereka masih tertidur dengan nyenyaknya. Ia sudah kepergok basah. Barang bukti ada, Â dengan kesaksian dari bapak tukang ojek online dan ditambahi oleh bumbu Yu Darsih bahwa pono terlibat sindikat perdagangan anak. Pono berpikir keras, dia harus mempertahankan alibinya. Â
"Benar Paklik, mereka anak teman saya, ditipkan ke rumah sementara mereka berlibur ke Eropa selama tiga bulan." Pono berkata serampangan.Â
"Mana buktinya? tak ada riwayat percakapan apa-apa di hp kamu tentang temanmu yang menitip anak itu." Kapten Darso terus mendesak, disesapnya kopi dingin itu dan kemudian menghisap rokoknya lagi.
"Justru itu Paklik, mana juga bukti bahwa saya sindikat? Ada tidak riwayat percakapan atau teleponnya?"
"Pasti sudah dihapus, kalian main rapih!" Bapak tukang ojek berlagak. Ikut menekan Pono. Mata pono menusuk mata bapak tua itu, menyebalkan sekali lagaknya. Bisa-bisanya ia menuduh yang bukan-bukan, batin Pono.
"Cukup pak, biar saya saja yang berbicara. Bapak kalo tidak diminta jangan bicara!" Damprat Kapten Darso pada bapak tukang ojek. Mulutnya pun terkunci