Mohon tunggu...
Ayu SabrinaBarokah
Ayu SabrinaBarokah Mohon Tunggu... Jurnalis - Citizen Journalist

Perempuan yang mencoba berdaya melalui karya tulis digital, dengan keyakinan Learning by doing.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada di Tengah Pandemi: Hak Pilih Vs Hak Hidup

14 Oktober 2020   20:16 Diperbarui: 14 Oktober 2020   20:20 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : fin.co.id

Apa yang sebenarnya negara butuhkan dari rakyatnya ? hidup untuk tetap menghidupkan demokrasi , atau menegakkan demokrasi walaupun mengancam hak hidup ? kini wara-wiri pilkada tengah harum meski pandemi tengah menghantui. 

Pilkada akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020 di 270 daerah dan melibatkan sekitar 105 juta pemilih. Publik, khususnya 105 juta pemilih di 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada tentu bertanya apa sih pentingnya pilkada di saat mereka harus berjuang melawan wabah corona ini? Bukankah sekarang lebih penting bagaimana virus corona segera hilang dari muka bumi?

Argumentasi utamanya sudah barang tentu menyoal kesinambungan demokrasi. Dalam sistem presidensial, termasuk pada pemerintahan lokal, secara konstitusi jabatan kepala daerah berlaku prinsip fix term alias telah ditetapkan masa jabatannya. Penguat lainnya yakni , jika menunda Pilkada bisa menimbulkan konflik politik yang kontraproduktif dalam situasi penangan Pandemi Covid-19.

Bila masa jabatan kepala daerah diperpanjang oleh pemerintah, oposisi atau penantang petahana akan menggugat karena hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri jadi terhambat. 

Ketidakpastian hukum dan politik akan terjadi. Penundaan pemilu dengan alasan pandemi justru berpotensi mengebiri demokrasi. Implikasinya jelas, instabilitas politik di tengah pandemi jadi taruhan, kecurigaan, bahkan ketidakpercayaan pada pemerintah akan meningkat.

Gara-gara pandemi bisa dijadikan alasan bagi pemerintah otoritarian untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya dengan menghilangkan hak asasi paling mendasar yakni hak politik untuk memilih dan dipilih.

Kendati demikian, bukan tidak mungkin Pilkada 2020 akan menjadi cluster baru penyebaran virus corona di Indonesia. Nyatanya, bukan hal mudah untuk menerapkan protokol kesehatan meskipun dengan ancaman hukuman bersih-bersih di jalanan atau bahkan hukuman push up. Butuh effort yang lebih untuk bisa mengatur pola hidup masyarakat sehari-hari.

Jokowi juga kekeh, ngotot menyelenggarakan pilkada serentak pada 9 Desember mendatang, yang tahapan-tahapannya mengundang kerumunan massa. 

Sudah beberapa calon kepala daerah dan penyelenggara Pilkada terpapar covid-19, padahal kampanye yang mengundang kerumunan massa besar belum berlangsung. 

Hal ini menimbulkan kekhawatiran publik. Berbagai pihak, termasuk NU dan Muhammadiyah, mendesak Jokowi menunda pilkada sampai tercipta kondisi yang kondusif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun