Saya rasa tidak akan ada yang membantah jika dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Saya mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu bukan sekali-dua kali saja, melainkan sudah berkali-kali. Sila pertama dasar negara kita berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa,” mengindikasikan pengakuan akan adanya Tuhan yang Mahakuasa. Undang-undang Dasar yang kita punyapun melindungi kebebasan untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama bagi setiap warga negara. Pokoknya, tak ada seorangpun yang lahir dan dibesarkan di negeri ini tanpa sekalipun belajar agama.
Nah, di dalam masyarakat yang agamis seperti ini, panggilan atau sebutan “kafir” tak jarang “mampir” di telinga kita, entah dalam ujaran serius ataupun sekedar bercanda. Apa yang ada di dalam pikiran Anda ketika mendapati kata “kafir” ini? Kalau saya, saya mengartikan kata “kafir” sebagai sebutan untuk seseorang yang menolak Tuhan dan ajaran-Nya. Akan tetapi, itu menurut saya.
Pada suatu ketika, saya (lagi-lagi dan terpaksa) membaca berita mengenai kekerasan yang dilakukan atas dasar pemahaman agama. Kata “kafir”pun muncul di sana. Karena penasaran (atau kurang kerjaan? Hehehe), sayapun mencoba mencari tahu apa kata Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengenai kata tersebut. Dan, jujur saja, definisi yang saya temukan membuat saya sangat terkejut!
KBBI menuliskan, bahwa “kafir” adalah:
orang yg tidak percaya kpd Allah dan rasul-Nya;
--harbi orang kafir yg mengganggu dan mengacau keselamatan Islam sehingga wajib diperangi; --muahid orang kafir yg telah mengadakan perjanjian dng umat Islam bahwa mereka tidak akan menyerang atau bermusuhan dng umat Islam selama perjanjian berlaku; --zimi orang kafir yg tunduk kpd pemerintahan Islam dng kewajiban membayar pajak bagi yg mampu;
Saya percaya, Anda pasti mahfum dengan keterkejutan saya. Definisi yang diberikan oleh KBBI itu membuat saya harus berpikir dua kali untuk menyebut diri saya sebagai orang beragama. Dengan definisi yang tentunya resmi dikeluarkan oleh Negara tersebut, maka saya dan nonmuslim lainnya harus siap dan rela jika suatu saat diteriaki sebagai orang kafir—serajin apapun kami berdoa atau beribadah.
Sejauh yang saya tahu, kamus merupakan rujukan baku dalam tiap penulisan ilmiah. Oleh karenanya, definisi dari tiap lema di dalamnya semestinya sudah dipertimbangkan oleh para ahli bahasa secara matang. Namun sayangnya, saya harus mempertanyakan kredibilitas KBBI dalam hal ini. Arti yang diberikan untuk kata tersebut “terlalu Islami”, padahal di dalam agama saya, kata “kafir” juga dikenal, namun sebatas orang-orang yang melawan Tuhan.
Saya tidak tahu siapa yang mengusulkan definisi tersebut, namun yang jelas, itu merupakan definisi yang tidak pas, kalau tak boleh dibilang ngawur. Tentu saja, definisi itu seyogyanya segera diubah, juga tak perlu diberikan “pelajaran” mengenai jenis-jenis kafir menurut ajaran Islam. Kecuali, tentu saja, jika KBBI diganti kepanjangannya menjadi Kamus Besar Bahasa Islam.
Bagaimana menurut Anda?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI