Mohon tunggu...
Ayu Novita Pramesti
Ayu Novita Pramesti Mohon Tunggu... Administrasi - penggemar tahu, kucing, dan buku

senang menjadi diri sendiri yang sederhana dan mengena

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Gagal Bertahan Menjadi Guru

2 Agustus 2018   14:02 Diperbarui: 2 Agustus 2018   14:17 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya, saya ingin sekali menjadi seorang dosen hukum. Namun karena satu dan lain hal, keinginan saya itu tidak jadi terwujud. Kemudian, saya memutuskan untuk menjadi guru. Nah, agar tidak terlalu jauh dengan background pendidikan hukum yang pernah saya pelajari, saya memilih untuk menjadi Guru Pendidikan Kewarganegaraan  di sekolah.  Saya sempat melamar ke tiga sekolah. Saya akhirnya baru berhasil menjadi guru setelah melamar di sekolah yang ke tiga. Setelah proses wawancara dan tes mengajar, saya diangkat menjadi guru dengan status kontrak. Saya dipercaya untuk mengajar siswa kelas X dan XI.

Tahun pertama menjadi guru, saya lalui dengan 'berdarah-darah'. Kaget karena harus mengajar tiga belas kelas dalam seminggu. Kaget karena harus menyesuaikan diri dengan siswa yang tingkahnya macam-macam. Belum lagi manajemen kelas yang berantakan karena di tempat kerja sebelumnya saya hanya mengajar maksimal sepuluh siswa  dalam satu kelas, dan kini harus mengajar maksimal dua puluh lima siswa. 

Saya juga belum menemukan pola komunikasi yang nyaman dengan teman-teman sejawat. Singkat cerita, di tahun pertama saya mengalami burn out dan sempat ragu-ragu ketika ditanya pimpinan sekolah apakah mau melanjutkan kontrak di tahun kedua atau tidak. Setelah menimbang-nimbang dan bertanya pada keluarga, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan kontrak di tahun kedua.

Di awal tahun kedua menjadi guru, saya mulai bisa menyesuaikan diri. Walaupun masih ada kekurangan di sana-sini, saya mulai memahami pola kerja seorang guru. Namun kadang terbersit keinginan untuk berhenti menjadi guru ketika harus berhadapan dengan anak-anak yang bermasalah di kelas. Tetapi saya mencoba untuk bertahan. C'mon, Yu! You should be tough! Begitu kira-kira saya selalu mensugesti diri sendiri. Saya harus kuat. Saya harus bertahan. Tetapi, ternyata saya harus 'menyerah'.

Di pertengahan semester dua, saya harus menerima kenyataan melihat empat orang calon guru melakukan tes mengajar di depan mata saya. Saya tidak ingin bertanya pada pimpinan sekolah, mengapa mereka harus ada di kelas saya. Saya menunggu untuk dipanggil saja. Akhirnya, menjelang semester dua berakhir, saya dipanggil pimpinan sekolah. 

Awalnya saya diajak berdialog mengenai capaian apa yang saya dapatkan di tahun kedua ini. Setelah berdialog, dengan bahasa yang halus, pimpinan sekolah mengatakan bahwa kontrak saya sudah selesai karena saya belum memenuhi profil guru yang diharapkan sekolah. Ok, akhirnya saya paham mengapa ada empat orang calon guru itu di kelas saya. Ketika itu, saya merasa lega dan berusaha menerimanya dengan lapang dada.

Saya harus menerima kenyataan bahwa saya gagal untuk menjadi guru. Mengapa bisa gagal? Bisa jadi, saya sebenarnya terlalu percaya diri karena beranggapan begitu mudahnya menjadi guru. TInggal memberikan materi, mengajak siswa mengerjakan soal, kemudian selesai. Tetapi, ternyata tak semudah itu. Guru adalah pekerjaan yang kompleks karena harus berhadapan dengan banyak orang, harus membuat rencana dan evaluasi, harus berhadapan dengan orang tua, dan harus melakukan hal-hal lain secara multitasking. 

Saya juga harus selalu berinovasi dalam merancang pembelajaran dana ternyata saya sangat lemah dalam hal tersebut.  Selain itu, saya kurang belajar dan membuka diri pada teman sejawat ketika mengalami kesulitan dalam mengajar. Saya terlalu sok tahu dan terlalu mengandalkan diri sendiri. Padahal, saya sama sekali tidak punya background pendidikan guru. 

Saya juga kurang membangun komunikasi yang baik dengan pimpinan sekolah, misalnya dengan rutin menyampaikan capaian kerja selama ini atau memberitahukan kesulitan yang dihadapi. Memang saya tidak pernah dipanggil oleh pimpinan sehingga seakan-akan tidak ada masalah. Ternyata, itu menjadi 'bom waktu' untuk saya sendiri. Kurang akrab dengan pimpinan membuat saya tidak terlalu 'dilirik' olehnya.  

Namun dibalik kegagalan itu saya bisa mengambi banyak pelajaran. Saya bersyukur karena dikeluarkan dengan cara yang baik. Alhamdulillah, saya tidak mengalami nasib seperti teman sejawat saya yang dikeluarkan dengan cara yang tidak baik. Selain itu, saya juga menyadari bahwa suatu pekerjaan bukan semata dilakukan untuk meraih status dan gaji, tapi juga harus membahagiakan hati. Percuma saya menjadi guru namun ketika mengajar tidak merasa happy. 

Ternyata, saya baru sadar kalau saya sebenarnya lebih cocok bekerja dengan kertas-kertas, bukan bekerja dengan banyak orang. Oleh karena itu, saya lebih pas untuk menjadi penulis atau peneliti.  Saya juga belajar untuk jujur terhadap diri sendiri dan lebih membuka diri pada orang lain. Yang terpenting, saya jadi menghargai pekerjaan seorang guru. Jika nanti saya memiliki anak kandung yang bersekolah, maka saya ingin sekali mengatakan padanya, "Nak, hargai gurumu di sekolah karena dia begitu lelah membantumu dalam menggapai cita-cita dan impianmu!"

           

*ditulis Bulan Mei 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun