Senin pagi. Timeline media sosial kembali ramai bukan karena kabar prestasi, tapi karena drama --- ya, drama yang sudah jadi bahan wajib di awal pekan: perselingkuhan. Seorang selebgram yang kemarin kita puja karena gaya hidupnya yang manis, kini berubah jadi topik hangat dengan satu kata yang paling sering diketik: "selingkuh."
Publik seolah tak kehabisan energi untuk berdebat. Ada yang marah, ada yang nyinyir, ada yang pura-pura bijak. Di tengah lautan komentar itu, muncul pertanyaan yang lebih menarik dari sekadar gosip: kalau selingkuh itu salah secara moral, apakah juga bisa salah secara hukum?
Dalam dunia hukum Indonesia, istilah perselingkuhan sendiri tidak punya definisi hukum yang pasti. Yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah perzinahan atau overspel, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP lama dan Pasal 411 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru. Artinya, negara baru bisa menjerat seseorang apabila hubungan itu melibatkan hubungan badan antara orang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya.
Jadi, kalau baru sebatas chat mesra, makan malam berdua, atau upload foto bareng di close friend---secara hukum, belum tentu termasuk tindak pidana. Tapi jangan salah, dari sisi moral, dunia bisa runtuh hanya karena "emoji love" yang dikirim ke orang yang salah.
Lebih jauh, pasal perzinahan bersifat delik aduan, artinya polisi tidak bisa menindak tanpa laporan dari suami atau istri sah. Kalau pihak yang disakiti memilih diam, hukum pun ikut diam. Dengan kata lain, hukum hanya bergerak kalau hati yang dikhianati mau bersuara.
Namun di luar ruang sidang, ada pengadilan lain yang lebih cepat, lebih bising, dan kadang lebih kejam: media sosial. Begitu ada gosip perselingkuhan, moral publik langsung bangkit. Semua berlomba menjadi hakim. Kadang lupa bahwa mereka juga manusia yang pernah berbohong pada dirinya sendiri.
Ironisnya, di negeri ini, pelaku korupsi bisa berkelit dengan pasal, tapi pelaku selingkuh nyaris tak bisa bersembunyi dari netizen. Mungkin karena hukum moral kita lebih tajam dari palu hakim mana pun. Tapi pertanyaannya, apakah selingkuh pantas dipidana hanya karena menyakiti hati? Apakah negara perlu ikut campur dalam urusan yang berakar dari retaknya komitmen pribadi?
Perselingkuhan selalu soal ruang --- ruang hati, ruang privasi, dan kini ruang publik. Saat janji dikhianati, yang rusak bukan hanya hubungan, tapi juga nilai kesetiaan yang kita yakini bersama. Hukum mencoba hadir, tapi ia terbatas; ia tidak bisa menghukum perasaan, hanya bisa menindak perbuatan yang terbukti.
Mungkin karena itulah moral dan hukum seperti dua garis sejajar yang jarang bertemu. Moral bicara nurani, hukum bicara bukti. Tapi keduanya tetap penting: kalau hanya mengandalkan moral, kita mudah jadi hakim; kalau hanya mengandalkan hukum, kita kehilangan rasa.
Perselingkuhan, dalam bentuk apa pun, tidak akan pernah adil bagi yang disakiti. Namun menjadikan setiap luka sebagai perkara pidana juga bukan solusi yang sederhana. Negara bisa menulis pasal, tapi tidak bisa menulis kesetiaan.
Dan mungkin, dari setiap drama viral yang memenuhi linimasa itu, kita sedang diingatkan satu hal kecil: bahwa setia itu tidak kuno, dan bahwa keadilan tak selalu datang lewat palu hakim --- kadang datang lewat keberanian untuk tidak mengkhianati hati sendiri.