Mohon tunggu...
Ayu Maruti
Ayu Maruti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa semester 3

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Pembunuhan Aktivis HAM Munir Said Thalib Ditinjau dari Konsep Personal Security dalam Teori Sekuritisasi The Copanhagen School

9 November 2022   14:05 Diperbarui: 17 November 2022   11:01 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Munir Said Thalib, Sumber : Biografi.co.id

Kondisi dunia pada saat munculnya disiplin ilmu hubungan internasional sedang dalam keadaan diselimuti peperangan, sehingga memfokuskan negara-negara untuk membangun keamanan nasional dengan memperkuat militer dan pertahanannya agar negara ”aman” dari serangan, ancaman, maupun intervensi negara lain. Negara menganggap keamanan mereka terjamin jika memiliki militer yang kuat, konsep keamanan tersebut ialah pengertian keamanan dalam artian sempit yang hanya dikonotasikan dengan “kekuatan militer” yang dimiliki oleh suatu negara, jika militernya kuat maka negara mampu menghadapi ancaman yang akan muncul, sehingga pemahaman tersebut membentuk norma “militeralisme” yang membatasi keamanan pada ancaman militer saja. Namun, dalam perkembangannya, ancaman yang dihadapi oleh suatu negara tidak dapat didefinisikan dan diselesaikan dengan kekuatan militer yang dimilikinya, seperti masalah melelehnya es di kutub, negara di sekitar kutub yang diprediksi akan tenggelam, kebebasan individu, kelangkaan pangan dan air, perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Sehingga, konsep keamanan diperluas ranahnya dan mengalami pendalaman makna yang tak bisa lagi didefinisikan sebagai keadaan dimana negara memiliki kekuatan militer yang kuat saja, namun juga meyangkut keamanan non-militer terdiri dari beberapa kategori.

Perluasan konsep keamanan ini digagas oleh Ricahrd Ullman pada dekade 1980-an ketika sedang terjadi Perang Dingin, sehingga tidak mendapat respon yang baik karena para pembuat kebijakan dan pakar keamanan masih kukuh akan pentingnya kekuatan militer yang dapat memberikan jaminan keamanan dan kelangsungan hidup negara bangsa serta menganggap upaya memasukan unsur-unsur nonmiliter ke dalam kajian kemaanan hanyalah angan-angan (Hadiwinata, 2017).  Hal ini juga telah dilakukan sebelumnya oleh William Ernest Blazt yang menginisiasi dalam bukunya Human Security : Some Reflections (1966) bahwa kajian keamanan harus memperhatikan pada keamanan manusia karena tanpanya tidak akan memberi dampak bagi manusia sebagai warga resmi suatu negara yang memiliki berbagai hak dan kewajiban (Blazt, 1966)

Ketika Perang Dingin telah berakhir dan penggunaan senjata telah berkurang, isu keamanan kembali mencuat, bahwa stabilitas keamanan suatu negara dipengruhi oleh dimensi lain pula selain militer. Dimensi tersebut meliputi Keamana politik, militer, ekonomi, masyarakat dan lingkungan. Mazhab Kopanhagen (Copanhagen School) menjabarkan bahwa konsep kemanan adalah hasil dari proses sekuritisasi yang berawal dari pernyataan (Speech act) berupa himbauan oleh aktor tertentu (Securitizing actor) yang biasanya dilakukan oleh  pejabat pemerintah, aktivis, tokoh masyarakat akan suatu hal yang berpotensi mengancam keamanan individu maupun nasional (Referent object) yang disampaikan kepada publik (Audiens) sebagai target untuk merespon ancaman tersebut agar menjadi isu nasional yang perlu diselesaikan dan diatasi, kemudian akan menjadi desecuritization (Hadiwinata, 2017).

Bagan 1 Proses Sekuritisasi
Bagan 1 Proses Sekuritisasi
Konsep keamanan ini dikenal dengan keamanan non-tradisional yang menggabungkan aspek milier dan non-militer untuk merespon berbagai ancaman. Konsep ini juga diaktualisasikan oleh UNDP (United Nations Development Program) yang menyatakan bahwa keamanan pasca Perang Dingin tidak lagi menyangkut senjata melaikan juga kehidupan dan martabat manusia yang dikategorikan ke dalam 7 aspek (UNDP, 1994):
  • Keamanan ekonomi (Economic Security)
  • Keamanan pangan (Food Security)
  • Keamanan kesehatan (Health Security)
  • Keamanan lingkungan (Enviromental security)
  • Keamanan personal (Personal security)
  • Keamanan komunitas (Community security)
  • Keamanan politik (Politic security)

Pada artikel ini akan memfokuskan pada aspek keamanan personal (personal security) yang ditinjau dari teori sekuritisasi Madzhab Kopanhagen dalam kasus pembunuhan seorang aktivis Hak Asasi Manusia Munir Said Thalib. Pembunuhan ini terjadi pada 07 September 2004 saat Munir melakukan penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam menggunakan Garuda Indonesia dengan nomor GA 974 dengan tujuan melanjutkan studi pascasarjananya. Namun, sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda Munir dinyatakan meninggal dunia dengan ditemukannya senyawa arsenik dengan jumlah dosis berlebih dalam tubuhnya berdasarkan hasil autopsi yang dilakukan oleh Institut Forensik Belanda (NFI).

Munir merupakan tokoh aktivis HAM dan salah satu pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Semasa hidupnya, ia gencar menyuarakan ketidakadilan dan pelanggaran HAM. Kematiannya masih menyisakan tanda tanya higga kini karena belum terungkap alasan pembunuhannya serta dalang di kasus ini. Kematian Munir yang diracuni dalam penerbangan ke Amsterdam merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM berat dan bukti ketidakamanan dan ancaman terhadap warga sipil ketika ia menyuarakan kebenaran dan keadilan. KontraS sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat dengan sejumlah LSM lain beserta istri Munir yakni Suciawati menuntut keadilan dengan dilakukannya investigasi atas kasus pembunuhan Munir karena banyak kejanggalan serta disinyilir sebagai pembunuhan berencana dengan banyak pihak yang terlibat dibaliknya. Banyak massa pula melakukan demonstrasi menuntut keadilan serta pengusutan untuk mengungkap kematian Munir.

Dalam teori sekuritisasi, KontraS dan Suciawati merupakan securitizing actor yang sedang melakukan speech act akan pembunuhan Munir sebagai referent object ini agar diusut dan menjadi perhatian publik sebagai audiens, karena hal ini merupakan penghilangan nyawa dan pelanggaran HAM berat. Pada saat itu, banyak massa merespon dengan melakukan unjuk rasa menuntut keadilan atas kematian Munir. Dalam aksi tersebut, proses sekuritisasi sedang berlangsung atas peristiwa yang merenggut nyawa dan mengancam keamanan personal –Munir Said Thalib, dimulai dengan adanya speech act yang dilakukan oleh KontraS dan Suciawati hingga respon yang diberikan oleh publik yang dalam hal ini adalah audiens. Proses sekuritisasi disini merupakan upaya untuk mengangkat isu Munir dari pelanggaran HAM menjadi isu keamanan yang urgen untuk ditindaklanjuti dan dituntaskan. Pemerintah diwakili oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merespon keadaan tersebut dengan menerbitkan Perpres nomor 111 Tahun 2004 tentang “Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir” yang disahkan pada 23 November 2004 dan dilaporkan hasil investigasinya pada 24 Juni 2005. Namun, hingga akhir masa jabatan Presiden SBY hasil dari TPF tidak dipublikaskasikan dan kasus pembunuhan Munir ini masih menyisakan ruang ketidakpastian.

Tahapan yang selanjutnya dilakukan dalam sekuritisasi ialah desekuritisasi, yaitu pengembalian keadaan gawat menjadi normal kembali. Proses ini terjadi ketika proses sekuritisasi berhasil dilakukan yakni dengan diakuinya suatu isu yang diangkat sehingga urgen untuk dijadikan sebagai isu nasional. Dalam tahapan ini, tentu isu tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi-politik nasional. Desekuritisasi terjadi karena dalam Madzhab Kopanhagen sekuritisasi ialah upaya penyelesaian masalah yang bersifat temporer yang akan dihentikan ketika pihak yang berwenang mengambil tindakan untuk menyelesaikan isu yang diangkat.

Kasus pembunuhan Munir semenjak 2004 hingga sekarang berusia 18 tahun belum ditemukan siapa dalang sebenarnya. Meskipun kasus ini akan memasuki masa kadaluarsa proses sekuritisasi masih berjalan, banyak aktor yang masih dan tetap konsisten menyuarakan keadilan dan pengusutan kasus pembunuhan Munir. Dokumen TPF yang seharusnya menjadi bukti tak ditemukan jejaknya dan dinyatakan hilang. Atas keadaan ini, proses desekuritisasi belum dapat dijalankan, karena keadilan yang disuarakan untuk Munir belum mendapatkan titik terang dan penyelesaian secara semestinya.

Menilik dari kasus di atas, Madzhab Kopanhagen memberikan penjelasan baru akan definisi keamanan yang tidak hanya befokus pada negara saja, melainkan terhadap individu dalam negara pula. Begitu pun dengan upaya untuk memberikan keamanan terhadap masyarakat tidak hanya dilakukan dengan aspek militer –peningkatan kekuatan saja tetapi juga non-militer. Dalam kasus ini negara sudah seharusnya dapat menjamin keamanan setiap individu dan memberikan kebebasan untuk bersuara dan berekspresi tanpa ada bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran.

Daftar Pustaka :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun