Mohon tunggu...
Ayudhia Ripa Khairani
Ayudhia Ripa Khairani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa Semester 3 Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai Patologi Sosial: Studi Penanganan dan Tantangan Struktural oleh Aparat Penegak Hukum

14 Oktober 2025   22:51 Diperbarui: 14 Oktober 2025   22:51 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa Semester 3 Universitas Negeri Semarang Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Prodi Psikologi berada di DP3A

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan sekadar persoalan privat, melainkan patologi sosial yang mencerminkan disfungsi relasi kuasa, ketimpangan gender, dan kegagalan sistemik dalam perlindungan warga negara. Kota Semarang menjadi contoh nyata dari urgensi isu ini, di mana lonjakan kasus KDRT dan kekerasan seksual meningkat tajam, terutama sepanjang awal tahun 2025.
Data dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Semarang mencatat 235 kasus kekerasan hanya dalam bulan Januari hingga September 2025, ini melebihi total kasus selama tahun 2024. Fakta ini menegaskan bahwa kekerasan domestik telah menjadi krisis kemanusiaan yang tersembunyi namun meluas.

Penanganan KDRT menghadapi banyak kendala struktural, terutama di tingkat pembuktian hukum. Banyak korban enggan melapor atau menarik laporan karena tekanan ekonomi, ketergantungan emosional, atau ketakutan terhadap pelaku yang merupakan pasangan sendiri. Aparat penegak hukum pun sering kali terbentur ketiadaan saksi karena budaya masyarakat yang menganggap KDRT sebagai urusan pribadi.


Meski UPTD PPA dan DP3A telah menjalankan alur pemberdayaan korban meliputi asesmen, edukasi hukum, hingga pendampingan visum dan pelaporan proses hukum sering terhenti akibat kurangnya dukungan bukti dan keberanian korban untuk melanjutkan proses.

Upaya lintas sektor sudah dilakukan: kolaborasi dengan Dinas Sosial, rumah sakit, LBH, hingga lembaga pendidikan. Namun, sistem masih membutuhkan penguatan dari hulu ke hilir, terutama dalam hal edukasi publik dan pembenahan SOP penegakan hukum agar lebih responsif terhadap dinamika psikologis korban.


Sebagai patologi sosial, KDRT bukan hanya soal individu, tapi juga cermin kegagalan kolektif dalam menciptakan ruang aman di dalam rumah sendiri. Oleh karena itu, selain penegakan hukum yang tegas, perubahan kultural dan kepedulian publik menjadi kunci dalam menghentikan siklus kekerasan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun