Rakyat dan pemerintah harus selektif dalam memilih para wakilnya, tidak hanya janji politiknya, yang seolah peduli tersebut, tetapi juga rekam jejaknya. Tak cukup sampai disitu, pemerintah tak boleh memberi peluang seseorang untuk korupsi. Terkait prosedur dan mekanisme yang berbelit, sehingga banyak kasus suap menyuap untuk melancarkan proses perizinan, karena banyak tangan serta minimnya pengawasan. Di tingkat daerah misalnya, banyak terjadi korupsi bansos, pungli dan sebagainya, hanya sedikit yang terjamah hukum, karena saling melindungi dan lemahnya pengawasan.
Fakta lain tentang manipulasi data, tidak hanya data laporan keuangan yang dimanipulasi, tetapi menyangkut data hak orang miskin penerima bansos. Temuan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini yang mengungkap adanya penerima bansos sebanyak 31.624 dari anggota ASN berupa bansos program keluarga (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), sebagai bukti banyak peluang yang terbuka untuk korupsi.Â
Dari ragam fakta tersebut, penulis berharap adanya upaya perbaikan terkait dengan pembenahan mentalitas korup bagi pejabat pusat dan daerah lebih di prioritaskan. Proses rekruitmen di hilir sampai ke hulu, atau sebaliknya lebih ketat lagi. Peningkatan pemahaman mekanisme layanan bebas korupsi, yang tidak cukup hanya spanduk, pin dan poster bebas korupsi. Karena pejabat kita sudah "bebal".
Selain itu, tata laksana untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi kinerja. Memangkas alur birokrasi yang berbelit dapat segera disederhanakan serta mudah dipahami. Flow chart di ruang layanan publik dapat dengan mudah memperoleh kejelasan dan kepastian alur layanan, serta mencegah ruang privat layanan publik, dibuat secara transparan serta akuntable melalui sistem pelayanan publik elektronik (electronic public service). Salah satu keuntungan di era digital ini, masyarakat dapat ikut berpartisipasi sebagai pengawas dan pelapor, misalnya rekaman video kejahatan korupsi yang menjadi viral dan memicu penangkapan oleh Aparat Penegak Hukum.Â
Namun, masyarakat sebagai aktor defender anti korupsi, perlu terlindungi dari intimidasi serta ancaman yang akan dihadapinya. Mereka juga harus diberi pemahaman dan mekanisme pelaporan yang jelas, simpel dan mudah.Â
Selama ini, mereka ada dalam bayang-bayang ketakutan untuk melaporkan peristiwa korupsi disekitar mereka. Selektif dalam menetapkan pejabat publik harus pula dibuat efektif dalam pemberantasan korupsi yang akut, melalui mekanisme yang dapat dilakukan bersama. Sederhana tak berbelit, serta dapat menjerat pelaku di tingkat daerah maupun pusat secara menyeluruh. Semoga di 2022 berhenti pada kasus ini saja. Rakyat tak boncos lagi. Bangun pagi meraih mimpi, bukan bangun pagi, korupsi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H