Mengapa manusia senang melingkari hari-hari libur pada kalender mereka? Menunggu akhir pekan di hari Senin? Senang dengan cuti? Tidak sabar menunggu jam sekolah atau jam kantor usai? Mungkin karena manusia memang lebih hidup ketika tidak bekerja. Alam tidak mengizinkan manusia bekerja tujuh hari dalam seminggu. Pada sebagian sekolah, kampus, dan kantor-kantor bahkan sudah libur sejak hari Sabtu. Alam tidak memberi hujan sepanjang tahun. Ada masa kemarau, dan petani akan berhenti menanam padi lalu beralih ke tanaman palawija. Tanah membutuhkan istirahatnya sendiri. Palawija mengembalikan kesuburan tanah dengan siklusnya, juga menghindari serangan hama.
Alam memiliki aturan memulihkan segala sesuatu yang dikandungnya. Manusia sebagai makhluk ciptaan yang mendapat anugerah pikiran, perasaan, dan hati nurani pun tidak bisa mengkhianati aturan ini. Manusia yang memaksakan dirinya bekerja keras, misalnya 8 jam sehari selama tujuh hari dalam seminggu, melanggar aturan yang sama dengan melanggar undang-undang suatu negara. Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia menuliskan bahwa karyawan bekerja 7 jam dalam sehari atau 40 jam dalam satu minggu untuk 6 hari kerja dengan 1 hari istirahat dalam 1 minggu. Artinya, melanggar aturan sama dengan melanggar undang-undang suatu negara.
Berbagai penelitian juga menjelaskan bahwa dampak hebat dari overwork dapat sangat merusak, baik secara fisik karena memaksa otot dan otak bekerja keras tanpa henti, juga dampak serius pada kesehatan mental. Ada relasi kuat antara kecanduan alkohol dan tembakau pada orang-orang yang bekerja 40 jam seminggu.
Kita bersyukur pemerintah memberikan hari libur yang cukup bagi karyawan di Indonesia. Libur Natal dan Lebaran, misalnya, yang sering berbarengan dengan libur semester anak-anak sekolah, menjadi kesempatan bagi mereka untuk belajar apa yang tidak dipelajari di sekolah. Anak-anak belajar sambil liburan.
Musuh utama dari belajar adalah stres (tekanan dalam sekolah) dan rutinitas. Sekolah, dengan begitu banyak dampak positif seperti belajar berbagai ilmu pengetahuan yang penting untuk anak, seperti Matematika, Bahasa, Musik, Olahraga, Teknologi Informasi, Bahasa Asing, dan lain sebagainya, tetap tidak akan bisa memenuhi kebutuhan anak terdalam, yaitu belajar dalam kasih sayang orangtua.
Lalu, apa yang orangtua bisa lakukan untuk mengajar apa yang belum tercakup oleh sekolah? Ada banyak hal yang tidak diajarkan pada anak-anak di sekolah:
How to Learn (Bagaimana Belajar yang Benar)
Anak-anak yang masuk usia sekolah formal kelas 1 SD tidak memiliki pilihan belajar. Mereka akan masuk pada satu sistem yaitu silabus. Anak-anak wajib belajar mata pelajaran yang diberikan sekolah. Mereka belajar pada periode tertentu dan diujungnya akan diberikan tes baik tertulis maupun lisan. Namun, liburan memberi kesempatan anak-anak memikirkan pelajaran yang menurutnya sangat menarik. Sebagai contoh, jika Matematika, orangtua bisa membimbing, misalnya di mobil kita bisa bermain tebak-tebakan perkalian atau pembagian, bermain games, atau menghitung waktu tempuh menggunakan aplikasi Google Maps atau Waze. Anak-anak harus mengerti hubungan antara mata pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Berlibur bersama adalah kesempatan emas mengaitkan konteks tersebut.
Mengatur Uang
Sekolah hampir tidak mengajarkan soal penggunaan uang. Uang muncul dalam bentuk gambar-gambar dan soal cerita, tetapi tidak dalam konteks mencari dan mengatur uang. Ketika liburan, misalnya Natal atau Lebaran, anak-anak biasanya mendapat sejumlah uang dari kerabat yang hadir atau datang ke rumah. Anak-anak dapat belajar menghitung jumlah uang dan menuliskan daftar barang-barang atau keinginan seperti jalan-jalan ke tempat hiburan, piknik, atau ke bioskop. Mereka akan mengerti nilai uang dan bagaimana mengaturnya. Para orangtua juga dapat mengajak anak-anak melihat bagaimana para orangtua bekerja keras demi mendapat uang sehingga mereka bisa belajar bagaimana menghargai uang, menabung, serta tidak boros.
Komunikasi
Berbicara itu alami. Berkomunikasi dengan orang lain membutuhkan keahlian yang diajarkan. Sekolah memang mengajarkan anak-anak berkomunikasi dengan sesama siswa, guru, kepala sekolah, dan orang-orang dalam lingkup sekolah, tetapi tidak kepada anggota masyarakat yang lebih luas. Masa liburan memberi kesempatan kepada anak-anak belajar lebih luas, misalnya kepada keluarga besar seperti om, tante, opa, oma, dan sepupu-sepupu. Mereka dapat belajar cara berkomunikasi lintas usia. Pada saat yang sama, anak-anak dapat belajar berkomunikasi dengan orang-orang dalam lingkup lebih luas, misalnya kepada petugas parkir, petugas kebersihan.
Belajar dari Kegagalan
Fakta bahwa anak-anak akan mengalami kegagalan cepat atau lambat. Sekolah penuh dengan kompetisi. Mereka harus menjadi yang terpintar, tercepat, paling unggul dalam semua bidang. Tidak heran anak-anak yang "biasa" saja atau terkena label "lambat" akan tertekan dan frustasi. Liburan menjadi kesempatan para orangtua mereset pikiran mereka dengan pikiran realistis yang sehat. Semua anak pintar dalam bidangnya masing-masing, kegagalan adalah sebuah proses alami dalam hidup, dan menjadi terpintar belum menjamin kesuksesan hidup di masa depan. Orang tua bisa mengajarkan anak ketika mereka gagal, misalnya waktu membuat kue, mereka bisa ditanyakan apa kira-kira penyebabnya lalu dari penyebab itu mereka bisa belajar membuatnya kembali dengan catatan kegagalan.
Belajar Membuat Proyek dan Prakarya
Kita tahu semua hal yang ada membutuhkan perencanaan yang matang. Meskipun sudah banyak sekolah yang mengajarkan membuat prakarya, namun mereka sudah diberikan suatu konsep atau contoh sehingga umumnya hanya meniru. Para orangtua dapat membuat suatu prakarya yang relevan dengan hobi dan kesukaan anak-anak. Berikut beberapa bidang yang akan terpacu ketika kita membuat prakarya bersama anak-anak:
- Keterampilan motorik
- Literasi
- Kreativitas
- Konsep
- Bonding orangtua-anak
- Kemampuan matematika
- Komunikasi orangtua-anak
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI