Mohon tunggu...
Ayu Ariani
Ayu Ariani Mohon Tunggu... Universitas Mercu Buana

Nama : Ayu Ariani | NIM : 43223010085 | Mata Kuliah : Sistem Informasi Akuntansi | Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr. M.Si.Ak | Program Studi Akuntansi | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Diskursus Cyborg Manifesto Mekanisme Sibernetik Donna Haraway

23 Juni 2025   09:58 Diperbarui: 23 Juni 2025   09:56 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuis 2

Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Nama Mahasiswa : Ayu Ariani

NIM : 43223010085

Mata Kuliah : Sistem Informasi Akuntansi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Program Studi S1 Akuntansi

Universitas Mercu Buana

PENDAHULUAN

Dalam A Cyborg Manifesto (1985), Donna Haraway menghadirkan cyborg bukan sebagai makhluk fiksi ilmiah separuh manusia-separuh mesin melainkan sebagai metafora filosofis dan politis yang mendobrak batas-batas identitas tradisional, yaitu manusia vs mesin, laki-laki vs perempuan, alam vs budaya, tubuh vs teknologi. Istilah cyborg, yang semula diperkenalkan oleh Manfred Clynes dan Nathan Kline (1960) untuk menunjuk makhluk biologis dengan bantuan teknologi, diolah ulang oleh Haraway menjadi ikon kontemporer, dimana kita semua adalah cyborg dalam kehidupan sehari-hari 

Haraway berargumen bahwa tubuh manusia kini bertransformasi menjadi sistem sibernetik terbuka, yaitu terhubung oleh sensor, jaringan digital, dan sistem informasi. Tubuh kita bukan lagi murni organik, tetapi ia menjadi media digital yang bisa diprogram ulang. Fenomena seperti implan retina, wearable device, hingga profile media sosial menempatkan tubuh di persimpangan antara daging dan sinyal, antara organisme dan algoritma .

Kehadiran cyborg terbukti bukan sekadar teori, melainkan individu seperti Neil Harbisson dan Jesse Sullivan sudah menjadi contoh nyata tubuh yang diperluas teknologi. Harbisson ‘melihat’ suara melalui antena yang tertanam di tengkoraknya, sementara Sullivan mengendalikan lengan bionik melalui koneksi saraf dan teknologi neuro-prostetik . Tubuh manusia, dalam hal ini, tidak terbatas pada batas biologisnya, dimana ia menjadi objek-modifikasi dan medium identitas.

Lebih jauh, Haraway menunjukkan bahwa identitas manusia saat ini bersifat cair, modular, dan provisional. Persona digital, profil virtual, dan ruang online memungkinkan manusia membangun dan menyunting identitasnya sesuai konteks. Haraway mendeskripsikannya sebagai entitas “partial, ironic, intimate, and perversely engaged”, yaitu identitas rantai yang tak utuh, selalu dapat di-redesign .

Namun Haraway tidak melihat cyborg sebagai sesuatu yang bebas dari dominasi. Teknologi, menurutnya, adalah bagian dari apa yang ia sebut “informatics of domination”, yaitu sistem informasi dan sinyal yang menciptakan kontrol dan ketidaksetaraan atas ras, gender, atau kelas. Cyborg berada di pusat jaringan kontrol ini, namun juga memiliki potensi untuk menjadi aktor perubahan, bukan sekadar objek.

Cyborg, oleh karenanya, adalah strategi post-gender dan solidaritas politik berbasis afinitas, dan solidaritas antar individu yang dipilih berdasarkan nilai bersama, bukan identitas esensial biologis. Haraway menolak bahwa identitas adalah kodrat, melainkan konstruksi yang dapat dinegosiasikan dan diubah bersama teknologi .

Melalui A Cyborg Manifesto, Haraway membuka jalan bagi kita untuk memandang teknologi tidak sebagai alat netral, tetapi sebagai medan pertempuran politik, epistemologis, dan kultural. Ia menantang kita untuk menjadi cyborg sadar, tidak hanya pengguna teknologi, tetapi juga perancang ulang struktur sosial dan identitas, dalam arsitektur sibernetik dunia kontemporer.

(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)
(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)

(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)
(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)

(What)

Apa itu Cyborg dalam Pandangan Donna Haraway?

Konsep “cyborg” dalam karya A Cyborg Manifesto (1985) karya Donna Haraway tidak merujuk pada makhluk fiksi ilmiah setengah manusia dan setengah mesin seperti yang biasa digambarkan dalam budaya populer. Sebaliknya, Haraway menggunakan cyborg sebagai simbol metaforis untuk melampaui batas-batas identitas tradisional seperti manusia vs mesin, laki-laki vs perempuan, alam vs budaya, dan tubuh vs teknologi. Cyborg dalam konteks ini mencerminkan identitas hibrida dan cair yang terbentuk melalui interaksi kompleks antara manusia dan teknologi.

Secara historis, istilah cyborg pertama kali diperkenalkan oleh Manfred Clynes dan Nathan Kline pada tahun 1960, untuk menjelaskan makhluk biologis yang dilengkapi teknologi guna menunjang fungsi fisik dan mentalnya. Namun, Haraway mengembangkan konsep ini menjadi lebih politis dan filosofis. Baginya, cyborg bukanlah entitas futuristik, melainkan realitas masa kini, di mana manusia telah hidup berdampingan dengan teknologi dan bahkan menjadikannya bagian tak terpisahkan dari eksistensi.

Dalam perspektif Haraway, tubuh manusia telah menjadi bagian dari sistem informasi: sistem sibernetik, jaringan digital, sinyal elektronik, dan media sosial. Tubuh tidak lagi sekadar organik, tetapi merupakan sistem terbuka yang terus berinteraksi dan saling terhubung dengan mesin, perangkat lunak, data, dan teknologi lainnya. Mekanisme sibernetik, yang mengatur aliran informasi antara manusia dan teknologi, menjadikan tubuh manusia sebagai medium digital yang fleksibel dan bisa direkayasa.

Contoh nyata dari eksistensi cyborg dapat ditemukan dalam berbagai praktik medis dan bio-teknologis masa kini. Misalnya, Neil Harbisson, seorang seniman buta warna yang menanamkan antena di tengkoraknya untuk "melihat" suara sebagai warna, dan Jesse Sullivan, yang memiliki lengan bionik yang digerakkan oleh pikiran karena terkoneksi langsung dengan sistem saraf. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa tubuh manusia kini dapat dimodifikasi secara digital dan fungsional, memperluas batas-batas kemampuan biologis alaminya.

Haraway juga menunjukkan bahwa dalam era digital, identitas tidak lagi bersifat tetap atau tunggal. Media sosial, dunia virtual, dan game daring memungkinkan seseorang untuk membangun berbagai persona digital yang kadang berbeda dari identitas di dunia nyata. Fenomena ini mengindikasikan bahwa identitas kini bersifat cair, bergantung pada konteks digital, dan tidak dapat didefinisikan hanya melalui ras, gender, atau kelas sosial seperti dalam paradigma lama.

Selain itu, kehidupan modern memperlihatkan bahwa manusia tidak sekadar menggunakan teknologi, tetapi telah menjadi bagian dari sistem konsumsi digital yang menciptakan kebiasaan, kebutuhan, dan emosi yang terikat dengan mesin. Manusia telah menjadi entitas yang berinteraksi dua arah dengan teknologi, tidak hanya sebagai pengguna, tetapi juga sebagai bagian dari jaringan yang terus berkembang.

Dalam konteks ini, Haraway menyampaikan kritik terhadap struktur berpikir dualistik yang membatasi identitas manusia. Ia menawarkan visi post-gender, yaitu pandangan bahwa identitas tidak ditentukan oleh kategori biologis atau sosial yang tetap, melainkan oleh proses interaksi berkelanjutan antara individu dan lingkungan teknologisnya. Oleh karena itu, cyborg adalah simbol pembebasan dari kategori identitas yang mengkotak-kotakkan, serta penanda bahwa manusia adalah makhluk yang terus berubah dan beradaptasi bersama teknologi.

(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)
(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)

(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)
(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)

(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)
(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)

(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)
(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)

(Why)

Mengapa Haraway Menyusun Cyborg Manifesto?

Donna Haraway menyusun A Cyborg Manifesto sebagai bentuk kritik radikal terhadap struktur berpikir modern yang masih terjebak dalam dikotomi biner seperti alam/budaya, manusia/mesin, laki-laki/perempuan, dan tubuh/pikiran. Dikotomi ini bukan hanya struktur intelektual, melainkan juga alat ideologis dominasi yang menopang sistem patriarki, kapitalisme, dan kolonialisme. Dalam sejarah pemikiran Barat, manusia telah berkali-kali mengalami desentrasi eksistensial. Dari Copernicus yang menurunkan manusia dari pusat alam semesta, Darwin yang menjadikannya bagian dari rantai evolusi biologis, hingga Freud dan Heidegger yang menunjukkan bahwa kesadaran manusia hanyalah sebagian kecil dari struktur batin dan budaya yang lebih besar. Namun, dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh revolusi digital dan teknologi informasi, Haraway menunjukkan bahwa manusia kini bukan hanya tak lagi menjadi pusat, tetapi justru dikonstruksi oleh sistem teknologi dan informasi yang tidak netral.

Teknologi, dalam pandangan Haraway, bukanlah alat yang bebas nilai. Ia merupakan bagian dari sistem sibernetik yang membentuk dan mengatur ulang tubuh, pikiran, dan identitas manusia. Kritik ini tergambarkan jelas di mana Haraway menyoroti bagaimana bahkan benda-benda teknologi sehari-hari pun diklasifikasikan berdasarkan gender stereotip, seperti mobil, senjata, dan komputer dipandang sebagai teknologi “maskulin,” sedangkan mesin jahit, kompor, dan alat rumah tangga sebagai teknologi “feminin.” Pembagian ini tidak hanya merefleksikan, tetapi juga mewariskan dan memperkuat pembagian peran sosial berdasarkan gender. Melalui Cyborg, Haraway menolak kategorisasi ini secara total. Cyborg bukan pria atau wanita, bukan manusia atau mesin, bukan organik atau artifisial, tetapi ia adalah makhluk hibrida yang menolak untuk dimasukkan ke dalam kerangka biner.

Lebih jauh, Haraway menyoroti bagaimana manusia mengalami alienasi baru di era digital. Tubuh tidak lagi dianggap alami, melainkan sebagai bagian dari sistem jaringan informasi dan teknologi. Identitas manusia menjadi entitas yang dapat direkam, diukur, disimpan, dan dimodifikasi seperti data. Gagasan tentang tubuh sebagai subjek otonom digantikan oleh gambaran tubuh sebagai situs program dan mekanisme, sebagaimana terlihat dalam konsep “disassembled and reassembled” dalam sistem digital yang kita gunakan sehari-hari.

Namun, meski mengkritik sistem dominasi, Haraway tidak menyerukan kembali ke masa lalu yang “murni” atau “alami.” Sebaliknya, ia melihat peluang dalam kompleksitas ini. Cyborg bukan hanya kritik, tetapi juga harapan dan strategi. Ia menyodorkan konsep politik afinitas, yaitu gagasan bahwa perlawanan dan solidaritas tidak harus dibangun atas dasar identitas biologis atau esensialis, melainkan atas afinitas nilai dan tujuan bersama. Berbeda dengan feminisme esensialis yang berfokus pada “kodrat perempuan,” Haraway menawarkan pendekatan coalitional politics, yakni kolaborasi antara mereka yang tertindas oleh struktur dominasi, apapun identitasnya, untuk membentuk kekuatan sosial-politik yang lebih inklusif dan cair.

Strategi ini juga menjadi dasar dari cyberfeminisme, yaitu pendekatan kritis yang memanfaatkan teknologi digital sebagai alat pemberdayaan dan pembebasan perempuan dari narasi patriarki yang mendominasi ranah teknologi. Teknologi, dalam tangan yang sadar dan kritis, bisa menjadi alat untuk mendobrak batasan gender, membuka ruang ekspresi baru, serta meretas ulang sistem kekuasaan lama yang berbasis pada biner identitas.

Maka, dengan menyusun Cyborg Manifesto, Haraway tidak hanya menawarkan kritik terhadap dunia yang telah menjadi semakin teknosentris dan opresif, tetapi juga memberikan kerangka alternatif untuk berpikir, berpolitik, dan hidup di dalamnya. Cyborg, dalam pengertian Haraway, bukan sekadar makhluk fiksi ilmiah, melainkan simbol perlawanan, harapan, dan rekayasa ulang masa depan yang lebih adil dan non-hierarkis.

(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)
(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)

(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)
(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)

(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)
(Sumber: PPT Prof. Dr. Apollo)

How?

Bagaimana Cyborg dan Mekanisme Sibernetik Mengubah Pandangan tentang Manusia?

Donna Haraway, dalam A Cyborg Manifesto, menegaskan bahwa teknologi tidak pernah netral, melainkan merupakan produk dari dan beroperasi dalam struktur kekuasaan yang ada, termasuk patriarki, kapitalisme, dan imperialisme. Teknologi bukan hanya sekadar alat, tetapi adalah representasi ideologis yang membentuk dan mempertahankan relasi dominasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, memahami konsep cyborg berarti memahami bagaimana tubuh manusia, identitas, dan kekuasaan kini dibingkai ulang oleh mekanisme sibernetik dan jaringan digital.

Haraway menyebut sistem teknologi ini sebagai “informatics of domination”, sebuah ekosistem informasi dan sinyal yang menentukan siapa yang memiliki kuasa dan siapa yang dikontrol. Dalam sistem ini, teknologi digunakan bukan hanya untuk efisiensi, tetapi juga untuk mengatur, mengkategorikan, dan mengevaluasi kehidupan manusia. Contohnya dapat dilihat pada pembagian teknologi sehari-hari seperti mobil dan senjata yang dianggap maskulin, atau kompor dan mesin jahit yang dikategorikan feminin. Ini merupakan sebuah dikotomi budaya yang tidak alamiah, tetapi dibentuk oleh logika patriarki dan kapitalisme.

Cyborg hadir sebagai metafora politis dan kritis terhadap sistem tersebut. Ia menantang batas-batas simbolik seperti manusia vs mesin, laki-laki vs perempuan, dan organik vs buatan, dengan menolak dikotomi yang telah membatasi manusia selama ini. Cyborg mengganggu struktur esensialis, menawarkan cara pandang bahwa teknologi bisa direbut kembali oleh subjek yang sadar dan kritis, serta digunakan untuk pemberdayaan, bukan sekadar penaklukan atau eksploitasi.

Dalam perspektif Haraway, manusia masa kini adalah entitas hibrida, yang terus menerus “dipasang-lepas” oleh perkembangan teknologi dan representasi digital yang bersifat sementara. Identitas manusia telah menjadi sesuatu yang modular, dapat dirakit dan dibongkar ulang, bukan suatu esensi tetap yang diwariskan dari biologi. Cyborg pun menjadi simbol dari “disassembled and reassembled postmodern self”, yaitu manusia yang identitasnya dibentuk oleh interaksi dengan informasi, kode, algoritma, dan media virtual.

Inilah mengapa Haraway mengusung gagasan post-gender, sebuah penolakan terhadap klasifikasi biologis sebagai satu-satunya penentu identitas. Dengan membongkar stereotip teknologi sebagai "maskulin" atau "feminin", Haraway membuka ruang untuk rekonstruksi identitas tanpa harus tunduk pada kodrat biologis atau norma sosial dominatif. Dalam konteks ini, muncul gerakan cyberfeminism, yang berusaha menjadikan teknologi bukan sebagai instrumen subordinasi, tetapi sebagai sarana resistensi dan ekspresi alternatif bagi kelompok-kelompok termarjinalkan.

Namun, Haraway tidak menutupi sisi gelap dari perkembangan teknologi. Ia menyadari bahwa di balik potensi kebebasan yang ditawarkan oleh dunia digital, terdapat paradoks kontrol yang tak terlihat. Di era post-truth, fakta dan realitas dapat dengan mudah direkayasa oleh algoritma, filter, dan platform digital. Teknologi menciptakan kebebasan simbolik, yaitu kebebasan dalam memilih identitas, berdagang, berpolitik, bahkan berekspresi, akan tetapi kebebasan ini berjalan dalam sistem yang dikendalikan oleh logika platform dan sistem kapital digital, di mana narasi bisa dihapus, disensor, atau dimanipulasi.

Paradoks ini digambarkan dalam situasi yang Haraway sebut sebagai “paradox, competition, domination”. Teknologi menawarkan pluralitas, tetapi dalam kerangka sistem yang tetap mendikte apa yang layak dilihat, didengar, atau dipercaya. Inilah bentuk kontrol baru yang tidak tampak sebagai kekuasaan represif, melainkan kuasa algoritmik dan estetika simulasi yang bekerja secara diam-diam dan tersebar.

Kunci dari perubahan ini adalah mekanisme sibernetik, yaitu sistem umpan balik (feedback loops) yang menempatkan manusia tidak hanya sebagai objek pasif, tetapi juga sebagai subjek aktif dalam jaringan informasi. Dalam konteks ini, cyborg adalah wujud manusia yang sadar akan posisinya dalam sistem digital, dan yang memiliki kapasitas untuk merekayasa ulang struktur sosial, budaya, bahkan dirinya sendiri.

Haraway menekankan bahwa yang terpenting bukanlah koneksi itu sendiri, tetapi bagaimana koneksi tersebut dibangun dan dibongkar. Cyborg menjadi strategi epistemologis untuk menggugat sistem dominasi, serta membuka jalan menuju dunia tanpa totalisasi identitas, tanpa dikotomi tegas antara manusia dan mesin, antara laki-laki dan perempuan, antara pusat dan pinggiran.

Dengan demikian, cyborg bukan hanya metafora teknologi, melainkan cara berpikir baru tentang manusia, bahwa identitas adalah sesuatu yang dibentuk, dinegosiasikan, dan bisa diprogram ulang, baik secara biologis maupun digital. Inilah pergeseran paradigma dari struktur biner menuju pluralitas yang bermartabat, dari dominasi menuju koeksistensi dalam jaringan afinitas politik dan sosial.

KESIMPULAN

Dalam A Cyborg Manifesto (1985), Donna Haraway menghadirkan cyborg sebagai gagasan transformatif, bukan sekadar fiksi ilmiah, tetapi kompas filosofis dan politik yang menuntun kita memahami kondisi manusia modern yang hibrida. Cyborg merepresentasikan identitas yang melewati batas antara manusia dan mesin, laki-laki dan perempuan, serta alam dan budaya. Istilah ini menghantarkan kita pada kesadaran: manusia kontemporer bukanlah entitas alami yang utuh, melainkan bagian dari sistem sibernetik terbuka, seperti tubuh dan pikiran yang dimediasi oleh sensor, algoritma, perangkat digital, dan jaringan informasi.

Pada dasarnya, Haraway mengambil istilah cybernetic organism dari Manfred Clynes dan Nathan Kline yang merujuk pada makhluk biologis yang disempurnakan teknologi. Namun dia mengerahkan gagasan ini ke ranah politik dan filosofis, menunjukkan bahwa kita semua, hari ini, adalah cyborg. Manusia telah melebur menjadi medium informasi dan data, dengan teknologi menjadi bagian integral dari eksistensi kita. Dari implan retina hingga wearable device, hingga representasi-avatar di media sosial, ini semua mengonfirmasi bahwa tubuh telah menjadi ruang modifikasi dan rekonstruksi.

Haraway menggarisbawahi bahwa teknologi tidak netral. Sebaliknya, ia sarat dengan struktur dominasi patriarki, kapitalisme, dan rasialis, apa yang disebutnya sekadar grafik “informatika dominasi” (informatics of domination) . Era teknologi membawa sistem kontrol algoritmik yang terus menerus mengkategorikan dan memberi nilai terhadap badan, suara, dan gagasan kita. Misalnya, representasi teknologi “maskulin” seperti mobil dan senjata vs teknologi “feminin” seperti kompor dan mesin jahit, bukan sekadar stereotip, melainkan penegasan hubungan dominatif dalam masyarakat. Dengan memperkenalkan cyborg, Haraway meretas struktur ini dan menuntut agar teknologi diposisikan kembali sebagai alat narasi dan resistensi, bukan alat penaklukan .

Dalam esainya, Haraway menyatakan bahwa identitas cyborg adalah modular, cair, dan provisional, ia bisa “dipasang-lepas” dan di-redesain sesuai konteks sosial dan teknologi. Hal ini relevan dalam era media sosial dan virtual reality, di mana seseorang bisa memiliki berbagai persona digital yang berbeda, mencerminkan kondisi identitas yang “partial, ironic, intimate, and perversely engaged”Identitas bukan lagi sesuatu yang ditulis dalam tubuh biologis, melainkan sebuah konfigurasi teknologi yang dieksplorasi dan dipertukarkan, menanti rekonstruksi ulang.

Lebih lanjut, Haraway menyelami politics of affinity, sebuah mode solidaritas yang tidak berbasis identitas biologis atau esensial, melainkan atas nilai-nilai dan tujuan bersama. Ia menolak wacana feminismesensialis yang mencari kesamaan berdasarkan “kodrat perempuan”, melainkan mengusung coalitional politics, solidaritas yang terbuka, cair, dan inklusif. Cyborg menjadi simbol post-gender, di dunia di mana batas laki-laki dan perempuan sudah tidak mengikat lagi; gender menjadi spektrum dan konteks, bukan kewajiban biologis atau sosial .

Namun, Haraway mewaspadai paradoks digital. Dunia post-truth memungkinkan fakta direkayasa melalui algoritma dan filter platform. Identitas digital bisa dipilih, tetapi bisa juga dihapus atau disensor. Inilah realitas “paradox, competition, domination” dalam dunia sibernetik . Teknologi menawarkan kebebasan simbolik, namun kebebasan ini berada di dalam logika platform kapital digital yang tetap mengatur, ia dapat menentukan apa yang dilihat, didengar, dan dipercayai.

Kesadaran ini mendorong kita untuk menjadi cyborg aktif dan kritis: bukan hanya pengguna teknologi, tetapi perancang ulang sistem sosial dan identitas. Haraway menyatakan “The cyborg is the self feminists must code”. Bukan hanya menulis narasi alternatif, tetapi menulis ulang konstruksi teknologi dan kebudayaan. Coding di sini bukan hanya soal software, tetapi merujuk pada penulisan politik, teleologi rekayasa ulang relasi sosial, etika, dan rasa kemanusiaan.

Haraway menyederhanakan dua pilihan, yaitu kita bisa menarik kembali ke natur, atau merangkul kecampuran dan kesadaran kritis sebagai bentuk strategi politik. Ia mengajak kita untuk meninggalkan ide-ide aslinya tentang gender, asal-usul, kemurnian, pusat, dan sebagai gantinya membangun identitas tanpa totalisasi, tanpa kesatuan berideologi. Cyborg menolak grand narratives, dan sebaliknya menawarkan ruang fragmentasi yang produktif, ideal untuk era digital dan pluralitas .

Pada akhirnya, Haraway mengajukan pergeseran fundamental, yaitu dari tubuh dan pikiran sebagai entitas tetap menuju eksistensi sebagai proses, modulasi, dan rekacipta. Cyborg membuka potensi pluralitas, dengan keberagaman dalam kebersamaan. Ia menyarankan bahwa kemerdekaan sejati datang bukan dari kealamian, tetapi dari kapasitas kita untuk mengedit ulang pemahaman tentang gender, kekuasaan, dan koeksistensi.

Dengan demikian, A Cyborg Manifesto tetap relevan dan mendesak di tengah arsitektur global yang didominasi oleh algoritma, platform, dan struktur data. Haraway mengajak kita tidak hanya menjadi subjek yang dijamah teknologi, melainkan arsitek diri dan tatanan sosial melalui tindakan kritis, solidaritas inklusif, dan desain etis. Inilah panggilan untuk menjadi “cyborg sadar”, dan manusia abad ke-21 yang tidak takut meretas batas, menggugat struktur, dan dirancang identitasnya sendiri.

CITASI

Tüfenkci, O., & Koçyiğit, R. G. (2025). Conceptual problems in the body-space conceptualizations in A Cyborg Manifesto in the context of Sartori’s conceptual analysis. Cogent Arts & Humanities, 12(1), Article 2506320.

Haraway, D. J. (2016). Manifestly Haraway. University of Minnesota Press. 

Putra, B. D., & Hambali, R. Y. A. (2023). Cyborgs dan perempuan menurut pandangan posthumanisme Donna J. Haraway. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin, 3(1), 37–51. https://doi.org/10.15575/jpiu.19521 

Jannah, S. R. (2019). Teknologi, feminisme dan eksistensi cyborg. BioKultur, 8(2), 1–22.

https://niskalanews.com/2025/01/27/manifesto-cyborg/

https://en.wikipedia.org/wiki/A_Cyborg_Manifesto

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun