Mohon tunggu...
Ayu Hendranata
Ayu Hendranata Mohon Tunggu... Master student in communication, Nasionalist, Social Media Influencer

Ayu Hendranata is a master in Communication Studies, a social media influencer, and the founder of AH&Me Production. She is an active contributor on Kompasiana, where she writes about digital literacy, communication, and sociocultural reflection. Known for her thoughtful and nationalistic voice, Ayu blends academic insights with accessible narratives, promoting mindfulness and a balanced lifestyle through writing, reading, and wellness practices.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapa Yang Menentukan Arah Perdamaian Dunia Saat Ini ? Membaca Konflik Iran-Israel-Amerika Dalam Bayang Bayang Propaganda

22 Juni 2025   22:03 Diperbarui: 22 Juni 2025   22:03 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto :Kompas.com

Ketika Indonesia tengah sibuk menata kebijakan luar negeri pasca pergantian pemerintahan 2024 dan memantapkan peran diplomatiknya di kawasan Asia Tenggara dan Global South, dunia justru dikejutkan oleh meningkatnya ketegangan bersenjata antara Iran dan Israel. Konflik ini tidak hanya terjadi di medan tempur Timur Tengah, tetapi juga melibatkan kekuatan global seperti Amerika Serikat dan berdampak luas terhadap stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan internasional termasuk Indonesia sebagai bagian dari komunitas global yang mengandalkan stabilitas kawasan untuk menjaga ketahanan energi dan perdagangan.

Ketegangan antara Iran dan Israel yang semakin tajam sejak 2024 kini memasuki babak baru di tahun 2025. Setelah serangkaian serangan saling balas dengan rudal dan drone, konstelasi keamanan di kawasan Timur Tengah tidak hanya berubah drastis, tetapi juga menyeret Amerika Serikat  ke dalam pusaran konflik. Amerika bukan hanya bertindak sebagai sekutu strategis Israel dalam hal militer, tetapi juga sebagai aktor utama yang membentuk narasi global terkait siapa yang salah, siapa yang benar, dan siapa yang layak mendapat simpati dunia.

"Eskalasi Konflik Iran--Israel" dalam sebuah studi kajian Hubungan Luar Negeri (2024) menjelaskan bahwa lonjakan konflik ini bermula dari serangan Israel terhadap gedung konsuler Iran di Damaskus yang menewaskan Brigadir Jenderal Mohammad Zahedi saat itu. Sebagai tanggapan, Iran secara terbuka meluncurkan lebih dari 300 drone dan rudal ke wilayah Israel. Hal ini merupakan tindakan militer langsung yang jarang diambil oleh Iran dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun sebagian besar serangan Iran berhasil dihadang oleh sistem pertahanan udara Israel, terutama dengan bantuan Amerika Serikat, peristiwa tersebut menandai fase baru: konflik tak lagi dijalankan secara sembunyi-sembunyi atau lewat proksi, melainkan secara terang-terangan dan dipertontonkan ke dunia.

Namun konflik ini bukan semata-mata persoalan adu senjata, namun menjadi pertarungan untuk menguasai persepsi publik internasional. Perang di lapangan sama pentingnya dengan perang di ruang informasi. Siapa yang mengendalikan narasi, ia memiliki peluang besar untuk menentukan arah simpati publik dan legitimasi internasional.

Dalam kacamata perspektif propaganda seperti yang dikembangkan oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent menjadi sangat relevan. Dalam teori ini, media massa tidak dilihat sebagai penyampai informasi yang netral, melainkan sebagai alat produksi wacana yang melayani kepentingan elit politik dan ekonomi. Dalam konflik Iran--Israel--Amerika Serikat, mekanisme kerja propaganda dapat dengan mudah dilihat dari cara media-media besar Barat membingkai konflik secara sepihak. Laporan studi hubungan luar negeri juga menunjukkan bagaimana setelah serangan balasan Iran, pemberitaan media global justru lebih banyak menyoroti trauma psikologis warga Israel dan menggambarkan Iran sebagai provokator serta  ancaman nuklir. Sebaliknya, tindakan Israel yang lebih dulu menyerang wilayah diplomatik Iran, serta serangan brutal yang terus dilancarkan ke Gaza dan menyebabkan puluhan ribu korban sipil, justru minim sorotan dan tidak memperoleh framing sebagai pelanggaran hukum internasional.

Teori framing (Robert Entman, 1993) bekerja sebagai pelengkap propaganda. Melalui pemilihan sudut pandang, bahasa visual, dan pengaturan fokus berita, media mampu menciptakan persepsi yang mengarahkan opini publik dunia kepada satu simpulan moral tertentu. Simpati diarahkan kepada pihak yang dianggap 'beradab' atau 'defensif', sementara pihak lainnya digambarkan sebagai radikal, tidak rasional, dan berbahaya.

Amerika Serikat memainkan peran ganda dalam skenario ini. Selain sebagai pemasok sistem pertahanan canggih seperti Iron Dome dan penempatan kapal induk di Laut Tengah, AS juga bertindak sebagai produsen narasi dan legitimasi global. Melalui kekuatan diplomatik dan medianya, Amerika berhasil menempatkan dirinya sebagai pelindung dunia bebas, sementara Iran terus dilabeli sebagai negara sponsor terorisme. Narasi ini telah dibangun selama bertahun-tahun, dan kini mencapai puncaknya di tengah konflik terbuka.

Konflik tiga negara ini pun meluas secara geografis dan simbolik. Sebagaimana dipaparkan dalam studi yang sama, kawasan seperti Suriah, Lebanon, dan Yaman menjadi ajang perang tidak langsung antara ketiga kekuatan ini. Iran mendukung Hizbullah dan kelompok perlawanan di Gaza, Israel rutin melancarkan serangan udara ke wilayah Suriah, dan AS tetap mempertahankan kehadiran militernya di Irak serta Qatar. Konflik ini tidak hanya dipahami sebagai pertarungan geopolitik, tetapi juga sebagai simbol benturan ideologi global: Israel sebagai representasi demokrasi liberal, Iran sebagai kekuatan Islam politik anti-Zionis, dan Amerika Serikat sebagai aktor hegemonik yang menentukan arah global.

Dampak konflik ini juga terasa secara ekonomi secara strategis. Iran telah mengancam akan menutup jalur pelayaran minyak di Selat Hormuz jika diserang lebih lanjut. Harga minyak dunia melonjak setelah konfrontasi militer terjadi, memicu kekhawatiran inflasi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam konteks ini, perang Iran--Israel--AS tidak lagi menjadi isu kawasan, tetapi telah menjadi risiko global.

Lalu muncul pertanyaan penting: siapa yang sesungguhnya mengendalikan arah perdamaian dan keamanan dunia hari ini?

Jika kita mencermati pola intervensi, aliansi militer, dan dominasi wacana global, maka jawabannya tertuju pada lima negara besar: Israel, Iran, Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok. Kelima negara ini bukan hanya memiliki kapasitas militer yang besar, tetapi juga kuasa veto di PBB, kontrol atas narasi media, serta posisi tawar tinggi dalam geopolitik energi dan diplomasi global. Israel memiliki legitimasi internasional dan dukungan militer penuh dari AS. Iran memimpin poros perlawanan dan memiliki pengaruh ideologis luas di Timur Tengah. Amerika Serikat menguasai sistem informasi dan jaringan aliansi global. Rusia memosisikan diri sebagai penyeimbang dominasi Barat, terutama melalui intervensi di Suriah. Sementara Tiongkok, meskipun tidak terlalu mencolok secara militer, mulai memainkan peran sebagai aktor diplomatik dan ekonomi utama di kawasan global Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun