Beberapa hari ini, saya merasa seperti sedang mengejar segalanya dengan cepat. Maklum, saya ini pribadi  yang dari dulu mengerjakan sesuatu serba set sat set (istilah kekinian sekarang), ingin cepat selesai dan tak suka menunda. Rasanya kalau tidak segera diselesaikan, ada beban yang mengganjal. Bahkan ketika sedang beristirahat pun, kepala ini masih sibuk dengan pikiran "apa lagi yang harus dikerjakan?"
Tapi lalu, dalam satu sesi kuliah, saya diingatkan oleh sebuah kalimat yang menempel kuat di kepala: "Hati-hati dengan segala kecepatan. Sesuatu yang terlalu cepat dan terburu-buru sering kali tidak menghasilkan hal yang baik."
Saya mulai memperhatikan. Suara lain muncul ketika saya membaca balasan dari seorang teman yang saya hubungi untuk sesi wawancara penelitian yang sedang saya lakukan. Saya ingin menjadwalkannya secepat mungkin. Ia menjawab, "Besok? Butuh cepat?" Tapi saya, yang biasanya langsung mengiyakan, tiba-tiba membalas, "Oke, sesuaikan waktu kamu saja." Dan entah mengapa, kalimat itu terasa melegakan.
Tak lama, saya membaca percakapan santai di grup WhatsApp. Seorang teman menulis, "Kakak ngejar apa sih?" Gumaman sederhana itu terasa seperti tamparan lembut, membuat saya tersenyum kecut sambil bertanya pada diri sendiri: iya ya, aku sebenarnya sedang ngejar apa?
Di sinilah saya mulai sadar bahwa yang saya kejar bukan semata pekerjaan atau target. Tapi saya sedang terjebak dalam kecepatan itu sendiri. Paul Virilio menyebutnya sebagai dromologi ,sebuah teori tentang bagaimana kecepatan telah menjadi pusat dari kehidupan modern. Segalanya harus serba cepat: belajar cepat, kerja cepat, tanggap cepat. Seakan hidup ini adalah kompetisi maraton yang tak pernah selesai.
Yang lebih pelik, dromologi ini bukan hanya datang dari luar. Ia hidup dalam kepala kita, melalui komunikasi intrapersonal dimana suara batin yang terus menekan: "Kamu harus produktif!" Bahkan ketika tubuh lelah dan hati butuh ruang.
Namun hari-hari terakhir ini saya belajar satu hal penting: menikmati hal-hal sederhana bukanlah kemunduran. Justru itu adalah keberanian. Menyeduh teh hijau hangat tanpa tergesa-gesa. Membaca buku tanpa diselingi notifikasi. Duduk diam tanpa merasa bersalah. Itu bukan bentuk kemalasan, melainkan wujud mencintai diri sendiri.
Dalam dunia yang selalu mendorong untuk berlari, duduk tenang adalah tindakan radikal. Dalam masyarakat yang memuja pencapaian, menikmati jeda adalah bentuk resistensi.
Kita sering lupa bahwa being sama pentingnya dengan doing. Kita terlalu sering mengukur nilai diri dari produktivitas, padahal keberadaan kita sebagai manusia juga layak dirayakan meski sedang tidak 'menghasilkan' apapun.
Jadi, kalau kamu hari ini ingin diam sebentar, tak melakukan apa-apa, itu tidak salah. Saat kamu memilih untuk pelan, kamu sedang mendengarkan tubuh dan menjaga kewarasan. Ketika kamu memilih untuk hadir pada diri sendiri, kamu sedang menyeimbangkan kembali hidup yang terlalu sering didorong oleh kecepatan.
Dan kalau nanti suara itu kembali berbisik, "Kamu harus produktif!", kamu boleh menjawab dengan tenang:
"Hari ini, produktivitasku adalah hadir untuk diriku sendiri."