"Kabut itu berupa partikel, Bunda?" tanya anak kita.Â
Kami terus menerobos lapisan udara putih di jalan. Rasa dingin tidak sepenuhnya bisa diatasi dengan jaket. Semua pori-pori seakan menjadi pintu masuk yang terbuka lebar saat ini.
Semalam saat anak-anak kita tidur lelap, kau sempat mengatakan penunjuk suhu di atas meja membentuk angka dua puluh tiga derajat.Â
Tapi kondisiku yang kurang sehat membuatku tidak merasakan apakah saat itu memang cukup dingin. Akhirnya aku hanya diam.
Kuarahkan ujung ban sepeda motor dengan hati-hati. Memilih tanah padat dan menghindari longsoran kecil. Sesekali memilih pecahan batuan yang kasar untuk menyelamatkan perjalanan.Â
Kubayangkan saat ini kau sedang merasakan nikmat kopi hitammu yang tinggal setengah, mengisap gulungan tembakau yang katamu kualitasnya tumben sedikit apak, sambil melanjutkan membaca cerita ksatria kesukaanmu dari layar ponsel.
Kondisi jalan yang licin di daerah terpencil seperti ini, bagiku bukanlah yang terberat untuk ditaklukkan. Alur menanjak dan meluncur di tanah becek sisa hujan yang mengaduk-aduk nyali, selalu berhasil kami lalui tanpa perlu terlempar jatuh. Tetapi hubungan kita yang naik-turun lah yang kadang menguras air mata.
Sudah tiga hari aku tak bersemangat seperti biasanya. Ada luka menganga di hatiku karena kata-katamu akhir-akhir ini. Seakan kita tidak saling menyayangi dan tidak butuh menghabiskan waktu bersama-sama saat tua. Kau menginjak harga diri wanita sepertiku hanya karena sebuah ego.
"Bukan, Nak," sahutku. "Kabut adalah molekul air.Â
Pada malam hari, suhu udara yang turun dari langit terlalu dingin. Menjelang pagi dia bersentuhan dengan air (embun) atau tanah yang suhunya panas.