Berapa usiamu?Â
Ketika aku melihat dia, usianya kira-kira baru delapan tahun. Tetapi dia sering merasa kelaparan saat ibunya tak memberinya makan, karena suaminya menjadikannya teman bertengkar. Tidak. Itu bukan perdebatan kecil, tetapi saling membenci dan mengabaikan antara suami dan istri.
Adiknya masih sangat kecil, yaitu dua tahun. Sering rewel, menangis, dan mungkin sakit-sakitan. Tak ada apa-apa lagi di dapur, untuk membuat bubur. Tidak juga dua keping roti tawar untuk mereka sekeluarga sarapan.
Adiknya masih terus menangis, meronta tentang sesuatu yang belum bisa diungkapkannya. Saat itulah kegelapan menutupi mata ibunya, antara kelelahan dan kesedihan.
Mengapa seorang laki-laki yang sudah membuatnya beranak-anak, membiarkannya dalam ruang yang gelap? Dingin, pengap, perempuan itu dapat merasakannya.
Suaminya hanya buruh di pelabuhan laut. Setiap hari harus bermandi peluh untuk mendapatkan uang yang tak seberapa. Lalu mudah menjadi marah, saat sendi di tubuhnya nyeri karena lelah. Mulai demam, dia minum paracetamol atau pereda nyeri yang tersisa di sela tumpukan pakaian.
Anak delapan tahun itu, tiba-tiba terlihat salah di mata ibunya. Seharusnya dia bisa hidup lebih mandiri, atau mencarikannya uang dengan mengantar botol-botol bekas, kaleng minuman soda, apa saja yang berserakan di jalanan. Seharusnya dia bisa memungutnya, karena adiknya kelaparan dan membutuhkan makanan.
Uang terakhir ibunya sudah habis untuk membeli mi instant, yang direbus bersama pucuk daun ubi. Mereka memakannya untuk mengganjal perut, sampai laki-laki itu pulang membawa tumpahan beras di pelabuhan. Dia dan yang lainnya tak peduli. Beras yang berceceran adalah sumber kehidupan, setidaknya sampai nasib memintanya berubah.
Berapa usiamu saat membaca kisah ini?
Aku melihat anak perempuan dengan gaun lusuh yang belum dicuci, menangis sambil berjalan sendirian. Dia menuju sebuah tempat yang gelap, jauh dari ibunya dan juga adiknya yang kelaparan.