Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hukuman di Atas Hukuman

22 September 2021   08:36 Diperbarui: 22 September 2021   15:24 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hukuman di atas Hukuman |foto:Christoforus Ristianto via kompas.com

Solusi, biasanya diambil untuk menengahi, mengatasi atau menyelesaikan masalah. Presiden Jokowi meneken peraturan baru untuk mengatasi masalah PNS bolos. Wow!

Peraturan sebelumnya, ditetapkan pada 2010. Namun saat ini, isinya diperbarui karena sudah tidak memberikan hasil yang diinginkan.

Sebagai anggota masyarakat biasa, saya berdecak. Di antara banyaknya masalah negara yang perlu mendapat penanganan, disiplin jam kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) turut meminta perhatian.

Seyogyanya, kelompok ini menjadi anggota gerak yang bisa memajukan negara. Atau, menjadi teladan bagi yang lain karena kedudukannya jelas di atas permukaan. Terbukti, begitu banyak yang mengikuti tes CPNS, jauh melebihi kuota yang tersedia.

Tahun 1998, saya masih di bangku Aliyah. Dari gerbang sekolah, terlihat kantor dinas pemerintah dengan halamannya yang luas dan rindang. Di bawahnya bapak-bapak berseragam coklat bermain catur dengan santainya. Mungkin pada jam istirahat, saya kurang pasti. Tapi yang terpikir oleh saya pada waktu itu, rupanya mereka tak sesibuk yang saya pikirkan.

Tahun 2020, adik saya yang biasa saya mintai bantuan, kali itu justru meminta saya datang langsung ke tempatnya bekerja. "Ini masih jam kerja, Mbak. Kecuali saya memang ditugaskan keluar, saya bisa usahakan mampir," sanggahnya.

Terpaksa saya datang menemuinya di halaman kantor, itu pun tidak lebih dari sepuluh menit. 

Apa yang ingin diberikan setelah menjadi ASN?

Saya melihat kata sanksi atau hukuman, sifatnya "mengancam". Bahkan bila mengulangi kesalahan yang sama, sanksinya akan lebih berat dari hukuman pertama. Wah!

Ini tidak perlu, sebenarnya.

Ketika seseorang memilih menjadi bagian dari aparatur negara, apa yang sebenarnya ingin diberikan? Pengabdian, melanjutkan cita-cita para pendahulu yang gugur saat melawan penjajah, atau sekedar untuk mata pencaharian dan harga diri pribadi?

Hukuman di atas hukuman, saya melihatnya seperti anak kecil yang harus diancam untuk menepati didikan dan aturan dalam sebuah keluarga.

"Nak, kalau kau tidak mengerjakan PR- mu, ibu akan hilangkan jatah camilan sore."

"Nak, kalau kau malas gosok gigi, ibu tidak akan belikan sepeda."

"Nak, kalau kau lupa mengerjakan sholat, ibu akan potong uang jajanmu."

Aneh, bukan? Sementara untuk menegakkan disiplin dalam keluarga, orang tua bisa dengan memberikan arahan, pengertian, ajakan, dan contoh teladan. Ancaman hukuman, dipilih sebagai cara terakhir tentunya.

ASN adalah tanggung jawab, bukan profesi belaka

Sadarilah, ketika menjabat sebagai Aparatur Sipil Negara, kewajiban demi kewajiban bertumpu di pundak Anda. Tidak mungkin di pundak orang lain yang tak mempunyai kiprah langsung atas tertib dan majunya bidang yang diemban.

Terkadang saya merasa iri, bila melihat mereka di lampu merah. Maksud saya, kami sama-sama menunggu lampu hijau menyala, untuk melanjutkan perjalanan.

Dari kain kudung kepala sampai kaos kaki dan sepatu, ASN wanita yang saya lihat, sangat rapi dan keren. Memakai seragam pemerintah dan sepatu bagus. Belum lagi riasan, parfum, tas dan kendaraan yang dibawa, bukan yang harga murah, kusam atau butut.

Mungkin, ini hanya sedikit gambaran timbal balik jerih payah yang dikerjakan. Pasti pengelola kebijakan telah mengatur berbagai tunjangan, fasilitas dan berbagai "kemewahan" untuk menciptakan iklim kerja yang sejuk untuk mereka. Hari libur, izin cuti, insentif, kenaikan gaji, jabatan dan seterusnya.

Bandingkan dengan profesi masyarakat umumnya. Alih-alih disebut terhormat, seringnya dipandang sebelah mata, justru kehidupannya sudah sangat terhimpit.

Berkaryalah, jangan jadi terhukum

Tidak muluk-muluk, bila pendidikan tinggi telah berhasil diraih, ilmu telah didapat, mari berkarya untuk negeri tercinta. 

Alangkah indah bila kita menghiasi hidup ini dengan karya dan bermanfaat bagi bangsa yang kita cintai.

Kepada anak saya yang masih di Sekolah Dasar, saya bahkan berpesan, "Kita menikmati hasil-hasil yang ditanam dan tumbuh di Indonesia, jangan hanya tinggal dan menumpang di sini. Berikanlah tetesan keringatmu untuk negara ini. 

Bendera yang baru saja dikibarkan, adalah jerih payah dan jasa para pahlawan. Apakah kita hanya bersenang-senang main game dan gawai? 

Apakah kita buang hajat di sini, tanpa mau peduli akan kemana negara ini besok? Apakah kita akan mati nanti tanpa peduli apa-apa lagi?"

Saya mungkin ibu yang cukup aneh, berbicara seperti itu kepada anak-anak saya. Tetapi saya sangat takut melahirkan generasi yang hanya akan menjadi orang terhukum.

Aparatur negara, adalah orang dewasa yang sudah paham betul bagaimana mencintai negara Indonesia. Bertekad membangun negeri, dan menjadi pahlawan bangsanya di masa kini.

Selamat berjuang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun