Hari-hari selanjutnya, nyanyian ini pula yang membangunkan saya dari kamar. Kebetulan letak masjid agak jauh dan suara toa masjid tak kedengaran. Selanjutnya saya menikmati nasi ayam yang sudah dipersiapkan sehabis sholat tarawih.Â
Atau, seorang teman berangkat ke warung begadang yang khusus menjual makanan mulai sore sampai waktu shubuh. Menu di sana khusus nasi kuning plus kecap. Unik rasanya!
Sahabat Kompasianer, saat berada di perantauan, segala suka-duka akan lebih meninggalkan kesan, yaa.Â
Berbeda saat berkumpul bersama orang tua di rumah. Alarm nya, ibu kita. Yang menyiapkan menu makan sahur, juga ibu kita. Sementara di lingkungan kos, hanya bersama dua teman muslim lainnya.Â
Hidangan pun, bukan sehabis dipanaskan. Jadi sekalipun yang dinikmati seperempat ayam kampung yang digulai, rasanya anyep karena tersimpan dalam rantang makanan.
Meski begitu, tidak mengurangi semangat untuk berpuasa. Paginya, saya berangkat ke tempat kerja seperti biasa.Â
Sungguh semangat pada saat itu. Tidak ada rasa lemah yang menimbulkan pikiran untuk membatalkan puasa. Sementara saat kembali ke kampung halaman, dan mempunyai anak dua orang yang masih kecil, perasaan lelah dan godaan untuk membatalkan puasa berseliweran di kepala. Ahahaa.
Baca juga Hampir Satu Abad Usianya, Masjid Favorit ini Tetap Dicinta
Tahun ini, alhamdulillah saya menjalankan ibadah puasa bersama suami serta dua anak yang lebih besar. Sementara si bungsu yang baru empat tahun, belum ikut berpuasa.
Tradisi sahur di kampung halaman, justru hanya suara panggilan dari masjid dekat rumah. Suara dari toa masjid mampu membangunkan saya, beberapa saat sebelum alarm ponsel berbunyi.
Apapun itu, semua saya syukuri. Masih dapat bertemu bulan suci ramadhan, sungguh suatu nikmat dari Allah swt.