Mohon tunggu...
Ayip Tayana
Ayip Tayana Mohon Tunggu... Nahkoda - Keterangan

Bukan Pejuang Kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sesat Pikir Rokok Orang Tua Jadi Syarat Kartu Jakarta Pintar

16 Mei 2015   13:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:24 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyatakan bahwa anak dari orang tua perokok tidak diperkenankan menerima dana program Kartu Jakarta Pintar (KJP). Sebab, konsumsi rokok dalam satu keluarga dinilai akan menelan dana pengeluaran yang cukup besar. "Dana yang besar itu seharusnya bisa diutamakan untuk biaya pendidikan anak. Karena itu, salah satu syarat yang harus diterapkan orangtua penerima KJP, harus yang tidak merokok," kata Heru.

Demikian isi berita yang dimuat kompas.com pada hari Kamis, 14 Mei 2015 dengan judul “Anak dari Orangtua Perokok ‘Diharamkan’ Terima Kartu Jakarta Pintar”. (http://megapolitan.kompas.com/read/2015/05/14/19442161/Anak.dari.Orangtua.Perokok.Diharamkan.Terima.Kartu.Jakarta.Pintar) Hal yang sama juga disampaikan oleh atasan Heru, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, seperti dimuat cnnindonesia.com dengan judul “Ahok: Orangtua Merokok, Anak Tak Dapat Kartu Jakarta Pintar” (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150515121221-20-53398/ahok-orangtua-merokok-anak-tak-dapat-kartu-jakarta-pintar/)

“Yang merokok, anaknya tidak akan dapat KJP,” kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (15/5). Kebijakan itu akan diambil karena, menurut Ahok, orangtua yang mampu membeli rokok seharusnya sanggup membiayai sekolah anaknya. “Buat merokok kan ada duitnya. Dua bungkus sehari lagi. (Kalau tak mampu bayar sekolah anak) kan lucu,” kata dia.

Saya gagal paham jalan pikiran dua orang pejabat ini. Urusan rokok orang tua kok dijadikan syarat untuk mendapatkan Kartu Jakarta Pintar?

Pertama, apakah Heru dan Ahok tidak tahu bahwa mayoritas orang miskin adalah perokok? Kalau syarat itu diterapkan, artinya, akan banyak orang miskin tidak akan mendapatkan Kartu Jakarta Pintar. KJP cuma akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat miskin yang bukan perokok yang proporsinya minoritas. Dengan kata lain, KJP gagal.

Kedua, Heru dan Ahok menilai konsumsi rokok dalam satu keluarga akan menelan dana pengeluaran cukup besar, dana yang besar itu seharusnya bisa diutamakan untuk biaya pendidikan anak. Lalu, bagaimana halnya dengan orang tua yang tidak mengonsumsi rokok tapi mengeluarkan dana cukup besar untuk hal lain, sebut saja misalnya buat beli kondom? Apakah dua pejabat ini akan tetap memberikan KJP kepada anak yang orang tuanya tidak merokok namun orang tuanya itu selalu membeli dua bungkus kondom setiap harinya? Apakah tidak sebaiknya kedua pejabat ini juga memberi saran kepada jenis orang tua yang tidak merokok seperti itu bahwa daripada membeli kondom dua bungkus setiap hari, alangkah lebih bijak apabila uangnya ditabung untuk pendidikan anak?

Ketiga, Heru dan Ahok sudah melakukan diskriminasi terhadap warga negara. Kedua pejabat negara ini telah melanggar UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Di dalam konstitusi negara kita, jelas tertulis demikian, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Tanpa terkecuali. Baik orang tuanya perokok maupun tidak perokok, baik orang tuanya membeli dua bungkus rokok maupun membeli kondom dua bungkus setiap harinya.

Keempat, bagaimanakah cara Heru dan Ahok mengidentifikasi kedua orang tua siswa itu perokok atau bukan perokok? Berapa banyak orang tua yang harus mereka periksa satu per satu untuk membuktikan perokok tidaknya?

Kelima, apakah ukuran seseorang dari orang tua siswa itu untuk dikatakan sebagai perokok? Apakah merokok satu batang sehari sudah dikatakan perokok? Apakah dengan merokok dua bungkus sehari baru dapat dikategorikan sebagai perokok? Lalu, apakah kategori atau sebutan bagi pengguna kondom dua bungkus setiap hari? Dalam hal ini barangkali saya butuh Kartu Jakarta Pintar.

Keenam, apakah Heru dan Ahok ataupun pihak pengelola KJP mampu mengontrol kedua orang tua siswa yang sudah memperoleh KJP namun selang beberapa waktu kemudian tiba-tiba menjadi perokok dua bungkus setiap harinya? Apakah pejabat kita ini akan memasang kamera pengintai atau CCTV di setiap rumah para siswa penerima KJP untuk memantau apakah kedua orang tua siswa itu tiba-tiba menjadi perokok atau tidak? Memakai kondom atau tidak?

Jadi, melihat begitu sesatnya jalan pikiran pejabat publik kita ini, ada baiknya apabila sebelum urusan rokok orang tua dijadikan syarat untuk mendapatkan Kartu Jakarta Pintar, pejabat publik ini kita sekolahkan lebih dahulu. Mungkin dengan Kartu Jakarta Pintar, mungkin juga sekaligus dengan Kartu Jakarta Sehat.

Lagipula tugas negara adalah menghapus kemiskinan, bukan menghapus orang yang merokok. Apalagi selama ini rokok telah menopang perekonomian dengan cukai, pajak, dan pemasukan lainnya. Itu belum termasuk beasiswa yang banyak diberikan kepada masyarakat tidak mampu. Jangan suka banyak omong kalau tak bisa apa-apa tanpa bantuan pihak ketiga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun