Mohon tunggu...
Arie Yanwar
Arie Yanwar Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya seorang rakyat yang peduli kepada negerinya tercinta

Menulis sebagai bentuk apresiasi pada pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan featured

LPDP, Si Cantik nan Seksi yang Disayang dan Dibenci

31 Desember 2017   19:05 Diperbarui: 24 Juni 2018   08:29 9975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kabar24-Bisnis Indonesia

Saya cukup terkejut ketika mendapat tautan tentang liputan Najwa di chanel youtubenya. Liputan tersebut ditayangkan di youtube per 29 Desember 2017 dan pada saat tulisan ini dibuat telah ditonton lebih dari 30 ribu kali dan mendapat 1.409 like dan 269 unlike. 

Jumlah komentar pun sudah lebih dari 400 dan saya yakin akan terus bertambah. Walaupun saya tidak membaca semua komentar satu per satu, tapi dari beberapa puluh komentar yang saya baca dapat dilihat bahwa proporsi antara mereka yang pro dengan tayangan lebih banyak dari mereka yang mengkritisi tayangan tersebut.

Tentu saja saya juga termasuk yang mengkritisi tayangan tersebut akibat framing yang tidak berimbang karena lebih banyak menggunakan sudut pandang mereka yang tidak lolos seleksi. Bahkan terdapat tuduhan SARA yang mengesankan bahwa mereka yang tidak lolos seleksi terebut gagal karena SARA atau gender (baca: sexis). 

Tentu saya sangat mengapresiasi netizen yang mengkritisi tayangan tersebut terlepas dari status mereka yang merupakan awardee LPDP atau pegawai LPDP atau warga negara biasa yang memang kritis atau bahkan pendaftar beasiswa LPDP yang tidak lolos seleksi (walau yang ini saya ragu ada).

Tulisan saya pun bisa jadi merupakan bias karena saya seorang awardee LPDP angkatan jadul  dimana LPDP baru saja menjadi lembaga penyalur beasiswa dan seleksinya pun belum seketat yang sekarang, tentu saja karena pendaftarnya belum sebanyak sekarang. 

Ada tiga isu yang akan saya ulas disini yaitu tuduhan SARA dan sexis, ujian psikotest online, dan beasiswa dari uang pajak. Mari kita bahas satu persatu isu tersebut.


Tuduhan SARA dan sexis

Tuduhan ini didasarkan pada seleksi wawancara yang terlalu mengulik masalah pribadi. Ironisnya ketika ada pendaftar yang mendapat pertanyaan ini dan tidak lolos seleksi, langsung serta merta muncul anggapan bahwa ketidaklolosan ini dikarenakan pertanyaan yang berbau SARA dan sexis tersebut. 

Lebih ironisnya lagi, banyak netizen yang otomatis mengambil kesimpulan bahwa seleksi penerima beasiswa LPDP memang mengandung unsur SARA dan sexis apalagi begitu dapat dukungan dari aktivis HAM dan gender, sehingga ketika ada yang pendaftar yang tidak lolos seleksi dan kebetulan mendapat pertanyaan seperti itu langsung berkesimpulan bahwa ketidaklolosannya adalah gara-gara SARA dan sexis tersebut.

Terus terang tuduhan dan simpulan tersebut sangat bahkan terlalu dangkal. Saya tertarik dengan statement dari Dirut LPDP bahwa tujuan LPDP itu adalah mencetak leader di masa depan dan memang itu visi dan misi dibentuknya LPDP. Oleh karena itu jelas sudah bahwa kemampuan akademik, kemampuan struggle in life bahkan pengalaman hidup sengsara pun bukan menjadi kriteria utama yang dicari LPDP. 

Leadership skill lah yang sebenarnya di cari oleh LPDP. Leadership skill ini bukan berarti kita pernah pengalaman menjadi bos atau tahu bagaimana bersikap kalau jadi bos, jika anda seorang penulis dengan ribuan fans dan followers gak otomatis anda memiliki leadership skill, pun jika anda pernah mendirikan organisasi dan memimpin organisasi tersebut gak otomatis leadership skill tersebut anda miliki.

Bagaimana kita bisa tahu seseorang memiliki leadership skill?

Well, ada baiknya kita memahami apa saja kriteria yang diperlukan untuk menjadi seorang leaders. Ada banyak kriteria dan masing-masing expert memiliki pendapat yang berbeda-beda. Tapi dari semua pendapat tersebut, dapat ditarik benang merah yang jadi simpulan saya sendiri yaitu humility (rendah hati), confidence (percaya diri/PD), optimis, decisiveness (tegas), integrity (jujur/tulus), dan creative (dalam hal ini selain dimaknai kreatif juga berani mengambil risiko atas kreatifitasnya tentu saja dalam makna positif).

Jadi, ketika kita di interview, interviewer kita akan memberi pertanyaan yang dapat memperlihatkan sisi leadership kita. Sehingga gak usah terkejut kalau ada pertanyaan "IPK kamu cuma segini, lulusan kampus swasta pula, emang kamu yakin sanggup kuliah di luar negeri?" atau "kamu muslimah? Koq gak make jilbab?" atau bahkan "kamu ni koq melambai, kamu banci ya?" termasuk juga statement "kamu orang betawi toh, saya kira kamu cina". 

Pertanyaan ataupun pernyataan tersebut hanya sebuah tes untuk melihat sisi leadership skill kita dan respon kita lah yang menentukan. Kalau kita merespon dengan PD, humble dan tegas, apapun yang kita ucapkan saya yakin tes ini pasti lolos. Tapi kalau kita menjawab dengan ragu atau bahkan muka merah tanda mau mewek... mungkin bisa juga lolos, pada seleksi tahun berikutnya atau tahun berikutnya lagi tentu saja dengan jawaban yang lebih memperlihatkan sisi leadership.

Pertanyaan/pernyataan untuk melihat sisi leadership anda juga banyak variasinya dan tidak jarang masuk ke ranah yang kita anggap pribadi. Tentu saja kita harus merespon pertanyaan/pernyataan tersebut dengan PD, humble, tegas, kreatif dan jujur. Saya gak bilang bahwa terapkan ini maka anda pasti lulus, karena banyak pertanyaan yang harus di respon dengan berbeda-beda dan tentu saja sisi leadership kita juga akan terlihat ketika kita GAGAL dalam tes tersebut yaitu berpikir optimis bukan malah mempertanyakan "koq gue bisa gagal ya, padahal kan sudah ....." dan ujug-ujug meminta penjelasan LPDP akan kegagalan tersebut. Padahal jika kita memang memiliki leadership yang baik, jawabannya pasti sudah tahu "karena ada yang lebih baik dari saya" sehingga positive thinking saja kalau Tuhan sedang memberikan yang terbaik untuk kita.

Terus terang saya iri dengan mereka yang mendapat pertanyaan-pertanyaan berbau SARA dan sexis karena saya tidak mendapat pertanyaan tersebut pada saat wawancara.  Mungkin interviewer saya sudah melihat aura leadership dari pandangan pertama hahahahaha (sori kalo ke PD an).

Bottom point is tidak ada yang salah dengan pertanyaan-pertanyaan para interviewer LPDP karena justru yang mau di gali adalah leadership skill para pendaftar beasiswa tersebut. Kalau cuma sekedar menginginkan pertanyaan seputar rencana studi, essay dan sejenisnya, lha itu sih yang diinginkan setiap pendaftar beasiswa yaitu mendapat pertanyaan yang sudah siap dengan jawabannya. 

Sedangkan seorang leader of tomorrow tidak akan menghadapi masalah yang sudah siap dengan jawabannya melainkan harus memecahkan sebuah permasalahan dan segera memutuskannya. Dalam hal ini creativity, decisiveness and confident adalah point yang sangat penting.

Jika seorang pendaftar beasiswa memang serius untuk mendapatkan beasiswa LPDP maka expect the unexpected. Persiapkan diri kalian untuk menghadapi pertanyaan yang tidak kalian harapkan bahkan jika itu menyangkut urusan 3 ur sekalipun (dapur, sumur, kasur), termasuk juga yang berbau SARA. 

Jawablah pertanyaan tersebut dengan tegas, kreatif, PD, jujur dan humble serta be optimist whatever the result is. Itulah yang menentukan apakah anda layak menjadi leaders of tomorrow atau cuma sekedar ahli scrol-scrol ketal-ketul di medsos. Yang pertama layak dapat beasiswa dari LPDP, yang kedua?????

Pewawancara pun akan menggali dengan berbagai cara termasuk juga melihat konsistensi dengan hasil psikotes online seperti yang akan dibahas berikutnya.

Tes psikotes online

Terus terang saya gak tahu berapa biaya untuk menyelenggarakan tes ini. Saya juga bingung menerka maksud Najwa memberikan keterangan biaya Rp2,5 milyar untuk psikotest lebih dari 9000 kandidat secara online. Apakah kemahalan atau bagaimana? Bahkan mewawancara seorang expert yang memberi pandangan negatif tentang psikotest online dimana sang expert tidak setuju dengan psikotest online tersebut dan lebih suka tes yang face to face.

Saya memahami face to face test sebagai wawancara dan memang itu yang dilakukan LPDP sebagai seleksi akhir, sehingga sayapun gagal paham sama tayangan Najwa kenapa psikotest online di permasalahkan. 

Karena psikotest online ini sudah banyak diterapkan di banyak perusahaan, tujuannya ya untuk efisiensi biaya. Bayangkan saja kalau tidak dilakukan online maka LPDP harus keluar biaya lagi untuk sewa ruangan ujian dan penyediaan kertas untuk pertanyaan dan lembar jawaban. Mungkin apabila ada komparasi biaya mana yang lebih efisien antara yang online dan manual hal itu akan lebih baik.

Terkait adanya pendaftar beasiswa yang gugur di tahapan ini, saya juga gagal paham letak permasalahannya. Sudah ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang yang gagal di psikotest baik itu untuk masuk perguruan tinggi maupun perusahaan bahkan tes-tes CPNS juga sudah mulai menggunakan psikotest dan banyak pula kandidat gagal, tapi kenapa yang LPDP di permasalahkan??

Bahkan ada yang menyayangkan briefing dari LPDP untuk tidak memilih jawaban ragu-ragu dalam psikotest. Bagi saya LPDP nih uedan tenan baiknya ngasi kisi-kisi buat psikotest supaya jangan pilih opsi ragu-ragu. Seumur-umur saya mengikuti psikotest belum pernah ada yang briefing saya, apalagi ngasih kisi-kisi. Tentu saja jawaban psikotest itu tidak ada benar salah karena yang dicari adalah kecocokan kriteria penerima beasiswa dengan karakter pribadi yang bersangkutan. 

Dan face to face interview test dapat juga digunakan untuk menguji apakah kandidat tersebut memang benar seperti itu dengan kata lain jujur dalam menjawab pertanyaan psikotest. Cara menguliknya ya dengan memberi pertanyaan yang macam-macam itu, masa iya pertanyaan di psikotest di tanya juga di interview.

Dan sesuai argumen saya sebelumnya bahwa LPDP mencari leaders of tomorrow, maka bagaimana sikap seorang kandidat yang gagal itu juga menentukan. Apabila kandidat gagal tersebut merasa psikotest justru menjegal dia mencapai impiannya, bahkan menganggap dirinya adalah kandidat yang seharusnya dapat memperoleh beasiswa atau memprotes keputusan panitia seleksi atas kegagalannya di psikotest. 

Hmmm.... Saya merasakan aura kesombongan dalam diri kandidat tersebut. Kebayang gak sih kalau suatu saat orang tersebut dengan memelihara egonya dan menjadi pimpinan sebuah perusahaan atau organisasi pemerintahaan, seperti apa dia akan bersikap.

Memang too easy to judge tapi alangkah baiknya apabila kandidat yang gagal tetap berpikir optimis bahwa dia gagal di psikotest karena memang suatu sebab dalam dirinya tanpa menyalahkan pihak lain. Justru dengan bersikap optimis tadi si kandidat gagal tersebut dapat belajar dan pada akhirnya akan memperkuat karakter kepemimpinan dalam dirinya. Toh jika seorang scholarship hunter memang tujuannya murni ingin sekolah di perguruan tinggi terbaik di dunia, pasti akan kesampaian, gusti Allah ora sare, so stay positive and be optimistic.

Beasiswa dari uang pajak

Dari tiga isu utama yang diangkat Najwa, saya merasa bahwa isu ini adalah yang paling penting tapi justru luput dari kritik para netizen. Kenapa saya bilang penting? Yaitu pernyataan bahwa uang pajak dipakai untuk membayar beasiswa. Saya rasa hal ini lah yang menjadikan bermunculannya gelombang pasukan pecandu micin.

"Duit pajak gue dipake buat bayar beasiswa, masa gue gak kebagian"

"Gue gak lulus seleksi LPDP, padahal beasiswanya dari uang rakyat"

Dan lain sebagainya statement miring dari pasukan pecandu micin. Semoga setelah melihat diagram ini semua bisa memahami posisi uang pajak kita ada di mana untuk beasiswa LPDP ini.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Dari diagram tersebut jelas terlihat bahwa pemerintah memasukan dana ke dalam pool DPPN dimana LPDP berperan dalam pengelolaan pool fund tersebut. Nah, hasil dari pengelolaan pool fund tersebut yang digunakan untuk membayari beasiswa para awardee LPDP. 

Uang yang dari APBN itu sendiri yang notabene uang pajak kita, ya tetap aman tidak berkurang sepeserpun kecuali pemerintah memutuskan untuk mengurangi DPPN, di mana kenyataannya justru DPPN ini malah ditambah sebesar Rp10 triliun untuk tahun 2018. 

Jadi DPPN yang akan di kelola LPDP untuk membayari beasiswa LPDP bertambah menjadi lebih dari Rp30 triliun rupiah. Untuk yang sekarang besarannya saja sudah Rp21,5 triliun ditambah cadangannya jadi mencapai hampir Rp23 triliun sesuai dengan tayangan Najwa.  

Apa iya hasil pengelolaannya mencukupi buat membiayai ribuan awardee setiap tahun?

Pasti cukup karena hasil pengelolaannya saja bisa mencapai Rp3 triliun rupiah tahun ini. Uang itulah yang digunakan untuk membiayai awardee aktif LPDP tahun ini yang berjumlah sekitar 5000an orang tersebar di dalam dan luar negeri. Uang ini jugalah yang digunakan untuk pembiayaan semua komponen beasiswa baik biaya kuliah, biaya hidup bahkan biaya hidup untuk keluarga.

Bagaimana dengan uang pajak kita yang di APBN?

Ya aman-aman saja untuk dikelola lagi oleh LPDP dengan penuh amanah agar dapat memberikan hasil yang optimal untuk biaya beasiswa LPDP tahun berikutnya.

Lantas kenapa pemerintah menambah pool fund DPPN dari APBN setiap tahun? Toh duitnya gak habis kan?

Jawaban politis statement ini adalah supaya semakin banyak putra-putri bangsa yang bisa mengeyam pendidikan tinggi di jenjang S2 dan S3 berkualitas terutama di luar negeri.

Jawaban yang agak kritisnya berhubung saya juga terlibat langsung dalam penyusunan APBN, maka jawabannya adalah efisiensi anggaran.  

Seperti yang kita ketahui UUD '45 mengamanatkan 20% anggaran APBN dialokasikan untuk anggaran pendidikan. Ketika Makhamah Konstitusi di tahun 2009 memutuskan bahwa UU APBN harus patuh terhadap konstitusi maka tidak ada pilihan lain selain mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari belanja negara di APBN. Bagi orang awam itu adalah hal yang sederhana kan yaitu cukup 20% X belanja negara di APBN = anggaran pendidikan.

Masalahnya tidak sesederhana itu bro!

APBN kita sangat di pengaruhi oleh asumsi makro (growth, inflation, kurs, ICP, lifting oil & gas, interest rate) dan antara variable dalam APBN banyak yang saling mempengaruhi 1 dengan lainnya. Contoh dana bagi hasil yang merupakan komponen transfer ke daerah (Belanja Negara) besarannya tergantung kepada penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan seperti PPh pasal 21 dan cukai hasil tembakau. 

Penerimaan PPh sendiri secara keseluruhan terpengaruh oleh indikator makro seperti growth, inflation dan kurs. Artinya jika asumsi inflasi berubah maka target penerimaan PPh akan berubah yang mengakibatkan alokasi transfer ke daerah berubah sehingga besaran belanja negara keseluruhan akan berubah. 

Nah, anggaran pendidikan yang tadinya sudah 20% dari APBN akan berubah pula besarannya. Kalau perubahan belanja negara di APBN tersebut adalah mengecil maka persentase anggaran pendidikan akan lebih dari 20% which is fine, tapi kalau perubahan tersebut adalah membesar maka persentase tersebut menjadi kurang dari 20% sehingga harus ditambah. 

Menambah anggaran pendidikan otomatis akan menambah belanja negara, sehingga mau tidak mau harus di lakukan hitungan yang bersifat iterative sampai keseimbangan 20% tersebut tercapai.  

Bagaimana kalau ICP yang berubah?

Indikator ICP mempengaruhi penerimaan negara bukan pajak dan PPh migas di pos Pendapatan Negara serta subsidi energy dan dana bagi hasil migas di pos Belanja Negara. Otomatis anggaran pendidikan juga harus disesuaikan sesuai amanat UUD '45 dan perhitungannyapun akan kembali iterative. Begitu seterusnya dengan perubahan-perubahan indicator makro ekonomi terhadap anggaran pendidikan.

Apakah proses perubahan asumsi makro sedemikian sering? Tentu saja, terutama pada saat pembahasan RAPBN menjadi APBN di senayan. Terus bagaimana menanggulangi inefisiensi tersebut? Nah itu dia, keunikan dari DPPN adalah pos ini tidak terdapat di belanja negara melainkan di pembiayaan anggaran atau istilah nya below the line.

Above the line merupakan seluruh aktifitas pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan maupun membelanjakannya sampai habis yang kemudian dijumlah untuk mengetahui apakah atas aktifitas tersebut terjadi defisit atau suplus. 

Apabila terjadi defisit harus ditutup dengan pembiayaan baik utang maupun jualan asset. Apabila surplus mau diapakan surplus tersebut, apakah untuk menambah asset dalam bentuk BUMN atau untuk bayar utang atau diinvestasikan oleh pemerintah. Semua aktifitas itu masuk kategori below the line.

DPPN itu masuknya pos dana yang di investasikan oleh pemerintah. Tentu saja untuk bayar utang atau investasi atau menambah modal di BUMN, anggaran tidak harus surplus dulu. Kenapa? Silakan anda jawab sendiri apakah gaji mu harus besar dulu untuk bisa investasi? 

Lha wong kenyataanya banyak orang ngutang buat investasi. Yang penting adalah adanya return of investment dan untuk DPPN return dari investasi tersebut adalah dalam bentuk peningkatan kualitas SDM di sektor pendidikan.

Anggaran DPPN itu pun menjadi bagian dari anggaran pendidikan, tapi karena posisinya ada di below the line dia justru bisa menjadi bantalan untuk mencegah inefisiensi anggaran.

Apabila ada perubahan pada asumsi makro yang kemudian harus mengubah besaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendidikan secara nominal pasti terpengaruh tapi secara persentase akan selalu 20% dari belanja negara karena adanya variable tetap yaitu DPPN. Dengan kata lain uang pajak kita yang masuk pool DPPN akan tetap ada dan tidak akan habis, bahkan akan terus menghasilkan.

Itulah yang menjadi kelebihan beasiswa LPDP dengan beasiswa lain yang dikelola pemerintah, seperti beasiswa Kemenristekdikti. Kalau pos yang dikelola LPDP ada di below the line, sedang yang dikelola Kemenristekdikti ada di above the line. 

Nah kalau misalnya ada revisi APBN, pemotongan belanja K/L, atau perubahan nomenklatur di belanja negara, sudah pasti pos yang di above the line akan kena proses screening terlebih dahulu. Jadi wajar aja temen-temen saya yang dapat beasiswa dari Kemenristekdikti pada ngeluh, tunjangan hidup telat dibayar, bahkan di tegur kampus gara-gara SPP belum di bayar sama sponsor, dan lain-lain. 

Sedangkan LPDP ya gak mungkin karena pos nya ada di below the line dan tidak terpengaruh oleh proses APBN, kecuali pemerintah memutuskan pos tersebut ditiadakan dan semua uangnya masuk ke above the line.

Saya membaca kutipan harian pikiran rakyat per 5 April 2017, ibu SMI menyatakan bahwa dana pendidikan yang dikelola LPDP untuk terus ditingkatkan bahkan akan mencapai Rp400 triliun di tahun 2030, maka saya yakin yang dimaksud beliau adalah DPPN tersebut. Kebayang dong, jika Rp20 triliun saja yang dikelola bisa menghasilkan yield Rp3 triliun, maka Rp400 triliun minimal yield bisa Rp40 triliun kan. 

Dengan kata lain LPDP bisa menerima puluhan ribu awardee setiap tahun, malah bisa jadi gak perlu ada seleksi lagi untuk beasiswa LPDP. Kasihan Najwa deh gak ada berita dari LPDP untuk digoreng hehehehe.

Tapi terus terang saya juga bingung, koq harus nunggu 2030 ya, lha wong anggaran pendidikan tahun 2017 saja sudah diatas Rp400 triliun. Semoga saja gak harus nunggu 2030 kita doakan saja 2019 sudah bisa segitu. Aminn.

Simpulan

Saya harap LPDP tetap melakukan apa yang telah dilakukan selama ini. Janganlah hanya karena kasus ini seleksi beasiswa LPDP diperlonggar. Saya gak rela apabila ada leaders of tomorrow tapi emosional, ego nya tinggi atau gampang mewek. 

Seorang awardee harus memiliki karakter kepemimpinan yang kuat dimana tidak semua orang memilikinya. Tapi karakter tersebut bisa ada pada siapa saja tidak peduli dia single mother, fresh graduate yang masih polos, korban KDRT, bahkan yang penampilannyapun klemer-klemer alias gemulai. 

Dan cara mengetahuinya ya tentu saja dari pertanyaan para interviewer LPDP yang terdiri dari 3 orang dimana salah satunya psikolog.

Bagaimana cara mengetahui bahwa kita memiliki karakter leadership tersebut, karena banyak orang yang terkadang tidak tahu cara mengukur dirinya sendiri (termasuk saya juga). Gampang! Lulus seleksi LPDP saja dan kalau gak lulus coba lagi atau cari beasiswa lain, gak usah nyari nyalahin orang lain terutama para interviewer LPDP. Sikapi pertanyaan-pertanyaan mereka dengan smart, jujur, tegas dan humble. 

Tentu saja anda harus bisa meyakinkan mereka bahwa anda memang memenuhi kriteria seorang awardee yang dicari LPDP. Leaders of tomorrow akan menghadapi berbagai permasalahan yang pelik yang mungkin sekarang belum ada. Kalau baru dapat gertak sedikit saja sudah mewek atau esmosi ya mending jadi follower aja lah.

Saya bukan pegawai LPDP tapi PNS di Kementerian Keuangan yang kebetulan seorang awardee LPDP. Kalau ada yang memberikan komentar positif, terima kasih. Kalau ada yang nyinyir pun terima kasih, I stood firmed with my opinion (lumayan juga buat ngurangin dosa).

Exeter, 31 Desember 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun