Anggi meletakkan belanjaannya di meja sarapan. Tidak banyak. Sebungkus oatmeal, empat botol yoghurt, sekotak jus jeruk, enam telur ayam omega, satu wadah mentega rendah lemak, semua jenis makanan pokok supermarket, dan satu botol plastik susu skim satu liter. Ada juga selada gunung dan empat tomat.
Dia melihat tumpukan yang sedikit itu.
Apakah ini yang sekarang terjadi dalam hidupnya? Makanan dari rak  supermarket?
Namun, ada satu barang yang tersisa di tasnya. Makanan untuk satu orang yang bisa dipanaskan di microwave dari konter 'barang diskon'. Dia mengeluarkan bungkusan kecil itu dari tas dan menatap stiker berlabel di bagian depannya.
Harga 44.900 diskon jadi 39.900.Â
Diskonnya tidak banyak, pikirnya, mengingat barang itu sudah memasuki tanggal 'Sebelum'. Ibunya tidak pasti akan setuju dia memakan barang diskon karena tanggal kedaluarsa, tetapi ibunya tidak setuju dengan semua 'makanan siap saji' dengan harga berapa pun.
"Kau tidak tahu apa yang ada di dalamnya," hardik ibunyai. "Sampah pabrik. Semua yang kau makan penuh dengan bahan kimia."
Sampai saat ini, Anggi telah menerima tanpa ragu mantra ibunya bahwa satu-satunya makanan yang baik adalah makanan yang disiapkan sendiri, dan memang benar bahwa lebih murah untuk membuat makanan sendiri dari bahan-bahan segar, tetapi dia telah melihat ayam asam manis siap saji di rak diskon memanggilnya.
"Beli aku. Ayo. Aku tahu kamu mau."Â
Dia hampir mengembalikannya, tetapi, meski dompetnya menipis, masih ada sedikit percikan pemberontakan yang mengintai di suatu tempat jauh di lubuk jiwanya.