Mood-ku tidak dalam kondisi terbaik ketika untuk makan malam. Jelas sudah David Raja tidak ada di Anyer. Mungkin, pikirku dengan marah, aku akan menemukan pesan surat lain yang menungguku di apartemen Jakarta yang memberitahuku bahwa dia baru saja meninggalkan Singapura dan apakah aku mau menemuinya untuk makan malam di Bintan.
Pikiranku beralih ke Ratna Dadali. Aku melihatnya tepat sebelum berangkat ke Anyer dan meskipun kesanku tentangnya seorang wanita yang sembrono, aku dapat melihat bahwa dia sangat khawatir. Hanya saja aku tidak punya rasa simpati padanya seperti yang seharusnya: wanita mana pun yang setuju untuk bertunangan dengan David Raja harus diperiksa otaknya.
Setidaknya menikmati nasi rempah Kirana yang dimasak dengan penuh citarasa, layak untuk bepergian sejauh itu hanya untuk mencicipinya.
David, kataku pada diri sendiri untuk kesekian kalinya, tunggulah sampai kita bertemu lagi, dan aku mungkin akan memberimu tempat persembunyian yang bagus. Bahkan pemikiran ini terbukti tidak memberi kepuasan bagiku. Aku tidak sepenuhnya yakin bahwa David, seorang karateka di masa mudanya, mungkin takkan mudah untuk kukalahkan...
Aku memutuskan untuk mengirim pesan ke Ratna Dadali. Hampir pasti dia akan khawatir David sedang sakit.
Mengirim pesan singkat dari iPhone-ku hanya untuk merasakan seseorang sedang memperhatikanku. '
Aku mendongak dan meihat Danar Hadi berdiri di samping mejaku.
"Apakah teman Anda baik-baik saja, Pak Han?" tanya Danar.
"Temanku?" kataku, bingung sejenak. "Oh, maksudmu Sambadi? Dia bukan temanku. Ya, dia pergi sebelum makan siang. Ngomong-ngomong, aku check out besok"
"Sayang sekali," kata Danar. "Kami baru saja mengenal Anda."