Dia mengintip dari balik kap mesin mobil jip - senyumannya selebar kawah Bromo - sangat gembira berada di luar hiruk pikuk kota metropolitan.
Dia adalah mawar di gurun pasir, gaun sutra musim yang dihembus oleh angin lembah Dieng yang liar - bertunas serupa kantil putih yang bergoyang oleh semilir angin sepoi-sepoi - bagai baling-baling kapal yang terdampar di terumbu karang.
"Mari kita tinggal di sini selamanya," katanya.
"Di tengah padang pasir?"
"Kenapa tidak? Kamu ingat gambar kincir angin di pedesaan di Eropah? Kita bisa membangun kincir angin sebagai rumah di sini."
"Oh ya, dan kemudian kita akan menjadi atraksi wisatawan pengganti kuda tunggangan."
Dia mengetuk-ngetuk tongkat swafoto, menatapnya tak serius.
"Lihatlah langit itu."
Matahari serupa gambar bocah di atas pasir. Jejak roda tegak lurus menuju cakrawala. Udara memuai membentuk ular fatamorgana di udara.
"Panas."
"Megah."