Mohon tunggu...
Muhammad Asif
Muhammad Asif Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and reseacher

Dosen dan peneliti. Meminati studi-studi tentang sejarah, manuskrip, serta Islam di Indonesia secara luas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pindah Lingkungan Kerja, Doa Ibu dan Jalan Panjang Sebuah Pencapaian

15 Mei 2019   00:39 Diperbarui: 15 Mei 2019   01:02 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Entah kenapa tiba-tiba saya ingin menuliskan pengalaman ini. Atau entahlah. Mungkin pengalaman ini cukup berharga bagi perjalanan hidup dan karir saya.Saya ketika itu saya harus pulang kampung dan pindah lingkungan kerja baru. Alasan awalnya satu: ya saya lah yang harus pulang dan menemani ibu yang hidup di rumah sendirian.

Sebelumnya saya mengajar di sebuah perguruan tinggi Islam negeri di Solo. Ya saya telah mengajar sekitar 3 tahun lebih di sana, di beberapa rapa fakultas dan di pusat bahasa. Sebetulnya saya sudah mengajar cukup lama di lingkungan kampus itu, karena sebelumnya sejak di tahun kedua kuliah saya sudah diminta membantu mengajar (tutor) untuk adik-adik di asrama atau tepatnya pesantren mahasiswa. Maka jika dijumlah total berarti saya telah mengabdi di sana sekitar 7 tahun. Sebuah perjalanan waktu yang tidak sedikit.

Di sana saya pun telah banyak kenalan, sahabat dan relasi. Saya pun kebetulan memiliki kedekatan (atau mungkin tepatnya diperacaya) oleh banyak dosen dan pimpinan entah ditingkat fakultas maupun ditingkat perguruan tinggi. Sebagai contoh kecil misalnya beberapa dosen yang kemudian menjadi pembantu rektor wakil dekan pernah menginap di tempat saya di Rembang ketika sedang melakukan penelitian.

Dan saya waktu itu diminta menjadi asisten di lapangan. Demikian pula misalnya dosen M misalnya yang kemudian menjadi dekan (dan kini kabarnya menjadi salah satu wakil rektor), juga sering kali mengajak saya  jalan-jalan ke daerah sekitar Solo untuk mengunjungi pondok-pondok pesantren. Dan mungkin karena sejak awal membantu mengjar di asrama saya juga kedekatan dengan para dosen senior di sana yang kemudian juga banyak yang menempati jabatan penting di kampus. Mungkin itu pula yang menjadikan jalan karir saya di sana cukup baik.

Maka ketika lulus S1 dan kemudian mendapat beasiswa S2 dari rektor, oleh beberapa orang dosen senior saya juga diminta mengajar di kampus. Ketika itu saya ditelpon oleh dosen yang sejak awal punya kedekatan dengan saya diminta untuk menemui ketua pusat bahasa. Lembaga itu saya kemudian diminta mengajar, di sela-sela menyelesaikan S2. Ketika itu saya baru di semester kedua di program pasca sarjana.

Satu semester kemudian oleh pak I yang awalnya Pembina di asrama dan ketika itu diangkat menjadi wakil dekan satu saya kemudian diminta membantu mengajar di fakultasnya. Dan dalam perjalanannya saya kemudian banyak mendapat jadwal tambahan karena kemudian ada beberapa dosen, termasuk termasuk fakultas asal saya yang kemudian memberikan jadwal tambahan dengan memintanya mennganti jam mengajarnya.

Pendek kata meskipun saya di sana berstatus sebagai dosen tidak tetap alias honor tetapi setidaknya dari segi ekonomi saya mendapat income yang cukup memenuhi kebutuhan dasar hidup kota Solo. Selain mengajar di kampus, mengajar di asrama sedikit-sedikit juga mendapat honor.

Selain itu saya juga punya sumber-sumber pemasukan dari  sumber lain. Misalnya dari menulis dan beberapa jasa lain seperti sering diminta membantu teman mengerjakan tesis dan membantu mengerjakan proyek penelitian dan semacamnya. Dan ketika di awal-awal ketika menikah income saya masih cukup untuk hidup berdua bersama isteri.

Namun kemudian saya terpaksa harus meninggalkan kota Solo dan pulang kampung. Tentu banyak yang harus saya lepaskan, pekerjaan yang sudah saya jalani dengan cukup nyaman, lingkungan kerja, relasi dan jejaring kerja dan lain sebagainya.

Belum lagi kuliah isteri saya. Bahkan diminggu terakhir ketika kami memutuskan untuk pulang ke Rembang, seorang ketua prodi, atasan di salah satu prodi tempat saya mengajar dalam suatu malam mengunjungi kontrakan saya dan meminta saya untuk membantunya mengerjakan disertasi yang sedang dia kerjakan di UNS Solo, kampus yang juga tempat istri saya kuliah sebelumnya. Ya dia sedang mengerjakan disertasi tentang analisis kontrastif antara bahasa Inggris dan bahasa Arab, sedangkan dia mungkin tidak memiliki bekal yang cukup di salah satu bahasa tersebut. Entahlah saya sebetulnya juga heran, padahal saya belum S3 dan belum pernah mengerjakan Disertasi, pikir saya waktu itu.

Namun bukan alasan itu yang sebetulnya membuat saya tidak bersedia membantunya. Tapi karena rencana kepindahan saya. Asal ada kemauan dan mau belajar saya yakin itu bisa dilakukan. Toh, sebelumnya ketika kuliah di S1 saya juga pernah membantu beberapa kali diminta membantu mengerjakan skripsi, meskipun ketika itu saya belum menulis skripsi. Maka dengan halus saya menolak permintaan senior saya tersebut dan saya sampaikan saya, tepatnya kami sudah merencanakan untuk pindah  dalam waktu dekat.

Jujur cukup berat awalnya meninggalkan kota, lingkungan kerja yang awalnya bahkan sudah saya rencana untuk tempat saya mengabdi. Akhir 2013 kami akhirnya pindah ke Rembang, saya dan istri rela melepas segala cita, angan, dan harapan di kota Solo. Tidak hanya saya, istri sebetulnya di sana pun sudah punya banyak kenalan, komunitas dan relasi-relasi. Di Rembang saya kemudian mengajar di sebuah perguruan tinggi baru di kota kecil itu.

Di sini saya harus memulai segalanya lagi dari awal. Meskipun tempat lahir saya, saya tidak cukup memiliki kolega dan relasi di sini, karena memang dulu sejak awal saya merencanakan tidak tinggal di sini. Saya juga harus mulai menapaki jalan karir dari awal. Ya saya mengajar di sebuah perguruan tinggi yang baru dirintis dan tentu saja semuanya serba terbatas. Selain honor terbatas, falisitas terbatas, menegemen dan pengeloaannya juga masih acak.

Di awal-awal mengajar saya hanya dikasih jam seminggu dua kali. Dan honor yang saya terima hanya sekitar 400 ribu sebulan. Itupun tidak dikasihkan setiap bulan, tetapi kadang 3 atau 6 bulan sekali. Padahal ketika masih di Solo sebulan setidaknya saya bisa memperoleh income 2 sampai 3 Juta. Kalau bukan karena ingin berbakti kepada orang tua saya mungkin tidak bisa cukup bertahan lama.

Di awal-awal hidup di Rembang untuk kehidupan sehari-hari saya sama istri justru banyak mengandalkan dari pensiunan ibu saya yang jumlahnya tidak seberapa. Karena honor ngajar saya ibaratnya hanya cukup untuk transport beli bensin untuk pulang pergi ngajar dan mungkin sisanya untuk beli sabun. Kadang kami juga mengandalkan pemberian ibu (dari istri) yang sering mengirimi uang. Selain itu kadang mengandalkan pemberian kakak-kakak saya ketika berkunjung ke rumah.

Saya bahkan masih ingat ketika menjelang idul fitri tahun pertama hidup di Rembang saya bahkan hampir tidak mampu membelikan istri baju baru. Namun ketika itu ibu dapat gaji ke-13 belas dan akhirnya saya diberikan uang beli membeli baju istri. Selain tekanan ekonomi kami harus menghadapi tekanan psikis yang bertubi-tubi.

Saya menyadari kepulangan saya di kampung kelahiran tampaknya membuat orang lain tak suka. Padahal sebetulnya dia masih saudara cukup dekat. Ya tampaknya selama ini dia memang menikmati modal dan status sosial yang selama ini telah dibangun ayah saya. Setelah ayah meninggal, dia tampaknya ingin menggantikan posisi ayah saya. Dan dengan kepulangan saya dia mungkin takut itu terenggut oleh saya.

Padahal saya tidak pernah berniat apa-apa. Dia pun sering menjelek-jelekkan dan bahkan memfitnah saya entah dihadapan saudara-saudara saya, masyarakat dan bahkan para tokoh masyarakat dan para kiai. Dalam setiap masalah yang sebetulnya dia sendiri yang membuat dia kemudian selalu melaporkan ke kakak-kakak saya, begitu pun para tokoh masyarakat bahwa sayalah yang bersalah, saya lah yang memulai.

Maka dalam setiap muncul masalah saya yang selalu dipersalahkan bahkan oleh saudara-saudara saya sendiri. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya dan istri hanya bisa berdoa. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun