Jujur cukup berat awalnya meninggalkan kota, lingkungan kerja yang awalnya bahkan sudah saya rencana untuk tempat saya mengabdi. Akhir 2013 kami akhirnya pindah ke Rembang, saya dan istri rela melepas segala cita, angan, dan harapan di kota Solo. Tidak hanya saya, istri sebetulnya di sana pun sudah punya banyak kenalan, komunitas dan relasi-relasi. Di Rembang saya kemudian mengajar di sebuah perguruan tinggi baru di kota kecil itu.
Di sini saya harus memulai segalanya lagi dari awal. Meskipun tempat lahir saya, saya tidak cukup memiliki kolega dan relasi di sini, karena memang dulu sejak awal saya merencanakan tidak tinggal di sini. Saya juga harus mulai menapaki jalan karir dari awal. Ya saya mengajar di sebuah perguruan tinggi yang baru dirintis dan tentu saja semuanya serba terbatas. Selain honor terbatas, falisitas terbatas, menegemen dan pengeloaannya juga masih acak.
Di awal-awal mengajar saya hanya dikasih jam seminggu dua kali. Dan honor yang saya terima hanya sekitar 400 ribu sebulan. Itupun tidak dikasihkan setiap bulan, tetapi kadang 3 atau 6 bulan sekali. Padahal ketika masih di Solo sebulan setidaknya saya bisa memperoleh income 2 sampai 3 Juta. Kalau bukan karena ingin berbakti kepada orang tua saya mungkin tidak bisa cukup bertahan lama.
Di awal-awal hidup di Rembang untuk kehidupan sehari-hari saya sama istri justru banyak mengandalkan dari pensiunan ibu saya yang jumlahnya tidak seberapa. Karena honor ngajar saya ibaratnya hanya cukup untuk transport beli bensin untuk pulang pergi ngajar dan mungkin sisanya untuk beli sabun. Kadang kami juga mengandalkan pemberian ibu (dari istri) yang sering mengirimi uang. Selain itu kadang mengandalkan pemberian kakak-kakak saya ketika berkunjung ke rumah.
Saya bahkan masih ingat ketika menjelang idul fitri tahun pertama hidup di Rembang saya bahkan hampir tidak mampu membelikan istri baju baru. Namun ketika itu ibu dapat gaji ke-13 belas dan akhirnya saya diberikan uang beli membeli baju istri. Selain tekanan ekonomi kami harus menghadapi tekanan psikis yang bertubi-tubi.
Saya menyadari kepulangan saya di kampung kelahiran tampaknya membuat orang lain tak suka. Padahal sebetulnya dia masih saudara cukup dekat. Ya tampaknya selama ini dia memang menikmati modal dan status sosial yang selama ini telah dibangun ayah saya. Setelah ayah meninggal, dia tampaknya ingin menggantikan posisi ayah saya. Dan dengan kepulangan saya dia mungkin takut itu terenggut oleh saya.
Padahal saya tidak pernah berniat apa-apa. Dia pun sering menjelek-jelekkan dan bahkan memfitnah saya entah dihadapan saudara-saudara saya, masyarakat dan bahkan para tokoh masyarakat dan para kiai. Dalam setiap masalah yang sebetulnya dia sendiri yang membuat dia kemudian selalu melaporkan ke kakak-kakak saya, begitu pun para tokoh masyarakat bahwa sayalah yang bersalah, saya lah yang memulai.
Maka dalam setiap muncul masalah saya yang selalu dipersalahkan bahkan oleh saudara-saudara saya sendiri. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya dan istri hanya bisa berdoa. (Bersambung)