Era digital telah mengubah peta perekonomian secara drastis. Dari transaksi harian rumah tangga hingga bisnis yang berskala global, hampir semua aspek kehidupan kini terhubung dengan internet. Pergeseran ini, meski membawa banyak kemudahan dan inovasi dalam dunia bisnis, juga menghadirkan tantangan baru bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku otoritas pajak di Indonesia. Penerimaan pajak yang selama ini bergantung pada model ekonomi tradisional kini harus beradaptasi dengan realita perkembangan zaman melalui model perekonomian digital yang cenderung nir-batas dan seringkali sulit untuk dilacak. Di sinilah peran Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) muncul sebagai "Game Changer" yang berpotensi besar dalam mengoptimalkan penerimaan pajak dan menciptakan keadilan bagi seluruh subjek pajak di Indonesia.
Sebelum era ekonomi digital, operasional bisnis dapat terlihat secara fisik yang dibuktikan dengan adanya kantor, pabrik, dan toko beserta alamat yang pasti tempat transaksi terjadi, hal ini memudahkan pemerintah dalam memungut pajak, baik dari penghasilan perusahaan maupun dari konsumsi masyarakat. Namun, dengan PMSE, bisnis dapat beroperasi tanpa kehadiran fisik di suatu negara, menjual produk atau jasa kepada konsumen di seluruh dunia hanya dengan koneksi internet. Hal ini tentunya menciptakan celah shadow economy yang besar bagi praktik penghindaran pajak dengan adanya subjek yang tidak teridentifikasi serta tidak melaporkan pendapatan atas bisnis yang dijalankan. Celah ini berujung pada hilangnya potensi penerimaan negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan telah menciptakan disparitas karena beberapa pihak ikut berkontribusi dalam membayar pajak sementara pihak lain tidak turut berkontribusi.
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di dunia, sangat merasakan dampak ini. Setiap harinya terjadi jutaan transaksi dari penjualan barang hingga penyediaan jasa digital seperti streaming, periklanan online, atau layanan yang berbasis langganan subscription terjadi melalui platform e-commerce, media sosial, dan berbagai aplikasi digital lainnya.
Menyadari tantangan ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah mengambil langkah maju dengan menerbitkan peraturan terkait PMSE di Indonesia. Aturan ini bukan sekadar penambahan pasal-pasal baru dalam undang-undang perpajakan, melainkan sebuah terobosan fundamental dalam mengawasi dan memungut pajak dari ekonomi digital. Konsep “substansial economic presence“ menjadi kunci penerapan aturan ini. Artinya, meskipun penyedia jasa PMSE tidak memiliki kantor fisik di Indonesia tetapi jika terdapat aktivitas ekonomi yang dibuktikan dengan jumlah pengguna yang signifikan dengan volume transaksi yang besar atau menghasilkan pendapatan yang substansial di Indonesia maka dapat dianggap memiliki kewajiban perpajakan.
Penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 yang telah dicabut dan digantikan dengan PMK Nomor 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMK-60/PMK.03/2022) adalah salah satu contoh nyata bagaimana pemerintah berusaha memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap konsumen di Indonesia yang membeli barang atau jasa digital dari luar negeri dengan mekanisme penunjukan penyedia platform sebagai pemungut PPN, hal ini tentunya mengurangi beban administrasi bagi pemerintah dan memastikan bahwa pajak atas konsumsi digital dapat dipungut secara efektif.
Berdasarkan data publikasi DJP pasca penerapan regulasi PPN PMSE pada tahun 2020 telah menjadi titik balik penerimaan PPN atas layanan penyediaan jasa digital oleh platform yang ditunjuk oleh pemerintah. Besaran setoran PPN yang terus tumbuh ini tentunya tidak lepas dari semakin besarnya pengguna layanan dan transaksi digital dari tahun ke tahun. Hal ini merupakan suatu wujud kemampuan adopsi teknologi oleh pemerintah untuk menuju Indonesia Maju 2045.
Lebih dari sekadar PPN, pemerintah melalui Kementerian Keuangan pada tanggal 14 Juli 2025 tepat pada Hari Pajak mengadakan siaran pers mengenai penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMK-37/2025) yang mulai berlaku pada tanggal 14 Juli 2025, pengaturan ini menjadi pelengkap PPN PMSE yang bertujuan untuk menciptakan keadilan usaha antara pelaku usaha digital dan konvensional.
PMK-37/2025 bukanlah pungutan atas pajak baru yang menambah beban pajak, tetapi sebuah simplifikasi administrasi Pajak Penghasilan (PPh) dengan mekanisme pergeseran pembayaran PPh secara mandiri oleh pedagang online (merchant) yang melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menjadi pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak penyedia platform (marketplace) yang ditunjuk oleh pemerintah. Untuk perlindungan UMKM orang pribadi dengan omzet ≤ Rp500 Juta pertahun, tetap tidak dikenakan PPh sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP-55/2022).