Mohon tunggu...
Andi W. Rivai
Andi W. Rivai Mohon Tunggu... Penulis - Penolog

Mengejar cinta Allah 'azza wa jalla www.navatour.co.id al Habsy Management

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Masih Perlukah Cabang Rutan?

8 Maret 2018   07:01 Diperbarui: 8 Maret 2018   19:39 2977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Rutan Depok. Sumber: arsip pribadi

Ada reaksi masyarakat yang cukup hangat terhadap pemberian remisi bagi seorang narapidana yang ditempatkan di cabang rutan Brimob. Masyarakat mempertanyakan, apakah sang terpidana tersebut layak untuk mendapat remisi jika ternyata yang bersangkutan menjalani pidana TIDAK di lembaga pemasyarakatan (lapas)? Lalu, program pembinaan apa yang telah dijalankan oleh cabang rutan tersebut sehingga sang terpidana akhirnya layak mendapat predikat "berkelakuan baik" sebagai syarat untuk mendapatkan remisi?

Tulisan ini tidak akan masuk pada ranah pemberian remisi tersebut, karena jawabannya tentu akan juga dapat menimbulkan "kehangatan" yang lain. Tetapi, tulisan ini akan masuk pada aspek lain, yaitu tentang keberadaan cabang rutan yang dikelola oleh instansi di luar Kementerian Hukum dan HAM. Dalam tataran yuridis, pertanyaannya adalah masih perlukah ada cabang rutan di luar Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)?

Jika mengacu pada penjelasan pasal 22 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian Negara, di kantor kejaksaan, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit dan dalam keadaan yang memaksa di tempat lain.

Penjelasan pasal ini memberikan pemahaman bahwa penahanan di tempat-tempat lain, seperti di kantor Kepolisian Negara, kantor kejaksaan, lembaga pemasyarakatan, rumah sakit, dan dalam keadaan yang memaksa di tempat lain, hanya dapat dilakukan apabila di tempat tersebut belum terdapat rumah tahanan negara (Rutan). Jadi, prinsipnya adalah apabila sudah terdapat rutan, maka, mengacu penjelasan pasal ini, tidak dimungkinkan lagi dilakukan penahanan di luar Rutan.

Munculnya penjelasan pasal 22 ayat (1) KUHAP tersebut sangat dapat dipahami karena pada saat disahkannya KUHAP, jumlah rutan masih sangat sedikit (terbatas). Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan masa sekarang, di mana hampir di setiap kabupaten/kota sudah terdapat Rutan. Berdasarkan data pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per Januari 2018, menunjukkan bahwa jumlah rutan adalah 219 unit di seluruh Indonesia. 

Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, Pasal 18 menyebutkan:

  1. Di setiap Ibu Kota Kabupaten atau Kotamadya dibentuk Rutan oleh Menteri.
  2. Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk atau menunjuk Rutan di luar tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan cabang dari Rutan.
  3. Kepala Cabang Rutan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Yang dimaksud Menteri dalam aturan ini adalah Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).

Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut diatas maka dapat dipahami bahwa dalam keadaan tertentu, Menteri dapat membentuk Cabang rutan. Tetapi, Cabang rutan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Cabang rutan yang berkedudukan di kecamatan (lihat penjelasan pasal ini). Pembentukan Cabang rutan di kecamatan pada umumnya didasarkan karena alasan geografis, yaitu luasnya wilayah kabupaten yang bersangkutan.

Selanjutnya, pasal 38 PP 27/1983 disebutkan bahwa:

  1. Sebelum terbentuknya rutan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, Menteri menetapkan lembaga pemasyarakatan tertentu sebagai rutan.
  2. Menteri dapat menetapkan tempat tahanan yang terdapat dalam jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan dan tempat lainnya sebagai cabang rutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).
  3. Kepala cabang rutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memberi laporan bulanan tentang tahanan kepada Kepala Rutan yang daerah hukumnya meliputi cabang rutan tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 38 tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Bahwa lapas dapat melaksanakan fungsi sebagai tempat penahanan, jika belum terdapat rutan di wilayah tersebut.

2. Menteri dapat menetapkan tempat tahanan instansi lain, seperti di kepolisian, kejaksaan, BNN, dan lainnya sebagai cabang rutan. Namun harus dipahami bahwa ketentuan pasal 38 ini terdapat di dalam Bab Peralihan (bukan di dalam batang tubuh) PP 27/1983. Apa makna bab peralihan?

Di dalam angka 127 lampiran UU No.11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Perundang Undangan, disebutkan bahwa Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:

  • Menghindari terjadinya kekosongan hukum,
  • Menjamin kepastian hukum,
  • Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan perundang-undangan, dan
  • Mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

Pertanyaannya sekarang adalah; apakah sejak disahkannya peraturan pelaksanaan KUHAP yaitu pada tahun 1983 hingga saat sekarang tahun 2018 masih termasuk dalam masa transisi sehingga ketentuan tentang pembentukan cabang rutan sebagaimana dimuat dalam bab peralihan ini masih relevan dan dapat diterapkan?

3. Jika melihat alur pengaturan dalam Pasal 38 tersebut, dapat dijelaskan bahwa: apabila belum terdapat rutan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan memfungsikan Lapas sebagai rutan (dimuat dalam ayat (1)). Nah, apabila ternyata di kabupaten/kotamadya belum juga terdapat Lapas maka penetapan tempat tahanan di kantor kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau tempat lainnya baru dapat dilakukan (dimuat dalam ayat (2).

Dengan memperhatikan beberapa peraturan di atas, maka dalam logika hukum saya, pembentukan cabang rutan di luar instansi Kemenkumham tidak lagi mempunyai landasan hukum yang kokoh. Dan logika hukum ini pun sesungguhnya telah dipahami dan disepakati bersama oleh instansi penegak hukum.

Hal ini tercermin dari adanya Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI Nomor 099/KMA/SKB/V/2010, M.HH-35.UM.03.01 Tahun 2010, KEP-059/A/JA/05/2010, dan B/14/V/2010 tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana dalam Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan, dalam poin 19 disebutkan tentang upaya pembenahan terhadap cabang rutan di luar Kemenkumham.

Juga sebagaimana tertuang dalam Memorandum of Understanding antara Kemenkumham, Kemenkeu, Polri, dan Kejaksaan Agung Nomor: M.HH.06.HM.03.02.1 Tahun 2011, Nomor: MoU-297.11.MK.04/2011, Nomor: B/24/VI/2011, Nomor: KEP.116/A/JA/06/2011 tentang Pengelolaan Cabang Rumah Tahanan Negara di Luar Kementerian Hukum dan HAM. Pada Pasal 7 MoU ini mengatur tentang peninjauan kembali status Cabang rutan di luar Kemenkumham. Munculnya MoU ini juga merupakan respon atas peristiwa "pelesiran" terpidana Gayus Tambunan ke Bali saat yang bersangkutan masih menjalani pidana di Cabang Rutan di luar kemenkumham.

Menutup tulisan ini, perlu dikemukakan bahwasannya penetapan Cabang rutan di luar Kemenkumham akan sangat melemahkan mekanisme check and balances dalam proses penegakan hukum. Bagaimana mungkin instansi yang mempunyai kewenangan melakukan penahanan juga menjalankan fungsi pengelolaan tempat tahanan (rutan)?

Bahwa argumentasi yang seringkali dikemukakan tentang adanya kelancaran dan kemudahan dalam proses pemeriksaan/penyidikan jika instansi di luar Kemenkumham mempunyai cabang rutan, maka sebenarnya argumentasi ini kurang tepat. Karena, dalam tataran praktis saat sekarang, proses pemeriksaan/penyidikan yang dilakukan oleh instansi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, BNN, dan penegak hukum lainnya tetap dapat berjalan tanpa harus membentuk cabang rutan di masing-masing instansi tersebut.

Jika pun terdapat kelemahan dalam pengelolaan rutan yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM, maka perbaikan dan koreksi terhadap rutan ini memang wajib terus dilakukan. Namun bukan berarti kelemahan tersebut dijadikan sebagai alasan pembenar untuk membentuk cabang rutan yang dikelola oleh instansi lain. Karena jika hal ini yang terjadi maka pada tatatan lebih jauh justru akan dapat merusak tatanan penegakan hukum.

Demikian, terima kasih.

Wassalam

BL, 7 Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun