Mohon tunggu...
Awaludin, SKM, M. Kes (Epid) Abdussalam
Awaludin, SKM, M. Kes (Epid) Abdussalam Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Epidemiologis. Sanitarian. "Mediocre".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tb MDR!

24 Maret 2012   02:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:33 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menghapus jejak tuberkulosis (TB) dalam kehidupan seseorang akan menjadi semakin sulit. Stop TB in My Lifetime menjadi tema World Tubercolusis Day pada 24 Maret 2012 ini. Permasalahan penanggulangan TB menjadi sangat kompleks, walaupun sebenarnya ada sedikitkebanggaan bahwa Indonesia yang dari dulu menempati posisi ketiga di dunia sekarang ke lima setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria dalam urutan penyumbang kasus tuberkulosis.

TB adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru-paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain, seperti kelenjar, tulang, sistem saraf, sistem pencernaan, sistem reproduksi, dan lain-lain. Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui percikan dahak yang beterbangan di udara.

Program pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung, yang sering disebut DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) yang sudah dimulai sejak tahun 1992, menuai permasalahan yang tidak kalah rumitnya. Ketidakmampuan mengonsumsi obat secara rutin, mengakibatkan munculnya permasalahan baru, yaitu kasus TB MDR (multi drug resistant).

TB MDR adalah kondisi di mana pasien resisten terhadap obat antituberkulosis (OAT) yang paling poten (INH dan rifampicin) secara bersama-sama atau disertai resistensi tehadap OAT lini pertama (ethambutol, streptomycin, dan pirazinamide). Jangka waktu pengobatan yang sangat panjang antara 18-24 bulan dan efek samping yang lebih berat TB MDR, bila dibandingkan dengan TB biasa.

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO Global Report 2011) melaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke sembilan dari 27 negara dengan kasus TB MDR terbanyak di dunia. Diperkirakan angka insidensi TB MDR sekitar dua persen atau 6.100 kasus setiap tahun.

Angka ini akan memberikan beban tambahan dalam menanggulangi TB. Padahal, secara global kita sudah berkomitmen menyukseskan target Millenium Development Goals (MDG’s) dalam menanggulangi penyakit menular. Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa indikator keberhasilan MDG’s dalam menanggulangi TB adalah menurunkan 50% angka kesakitan dan kematian akibat TB pada tahun 2015 dibandingkan dengan kondisi tahun 1990. Angka kematian berhasil diturunkan dari 92 kematian/100.000 penderita (1990) menjadi 27 kematian/100.000 penderita (2010). Sementara untuk angka penemuan penderita telah mencapai 77,3% (2010) dari target yang ditentukan sebesar 70%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan telah mencapai 89,7% (2010) dari target yang ditentukan sebesar 85%.

Orientasi program TB-DOTS terfokus pada pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Ketika target penemuan penderita ini sulit dicapai kemudian program melibatkan rumah sakit pemerintah maupun swasta ataupun institusi pelayanan kesehatan dimana masyarakat memerlukan pengobatan TB, seperti rumah sakit paru-paru maupun balai pengobatan paru-paru.

Tetapi, program ini tidak serta merta dapat diterapkan begitu saja dengan gampangnya,hal sepele seperti diagnosis TB yang ditegakkan secara mikroskopis dengan pemeriksaan dahak sulit diterapkan. Padahal di buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis yang diterbitkan Kementerian Kesehatan, jelas-jelas mengacu dan menerapkan International Standard Tuberculosis Care (ISTC) yang merupakan programWHO. Diagnosis TB sebagian masih dilakukan secara radiologis.

Monitoring pengobatan terhadap penderita TB pun menjadi sangat sulit. Pengobatan jangka panjang selama kurang lebih enam bulan dalam perjalananannya tidak tertutup kemungkinan mengalami putus berobat. Rumah sakit tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan survailans terhadap penderita yang mengalami putus berobat tersebut. Sebenarnya ada opsi yang memperbolehkan rumah sakit hanya menetapkan diagnosis saja, selanjutnya mekanisme pengobatan dirujuk ke puskesmas yang dekat dengan tempat tinggal penderita. Diperlukan jejaring yang sangat kuat antara rumah sakit dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (baca: melibatkan puskesmas) dalam mengatur mekanisme penanggulangan TB.

Ketika jejaring ini tidak berjalan dengan baik, tentu saja kualitas kinerja program penanggulangan TB akan menurun dengan drastis. Kemungkinan akan terjadi lonjakan penemuan penderita yang melimpah di rumah sakit, tetapi boleh jadi banyak penderita TB yang akan mengalami putus berobat. Penderita ini yang akan melahirkan generasi baru penular TB dengan status sebagai TB MDR yang sulit diberangus!


Artikel ini telah dipublikasikan di Harian Suara Merdeka (20 Maret 2012).

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun