Waktu memang mengajarkan banyak hal. Makanya, setiap ada kesempatan untuk bersua dengannya, aku memang sengaja mempersiapkan banyak hal.
Aku selalu merindukannya, hingga kapanpun itu. Mana bisa aku ini bohong atau membohongi perasaanku sendiri, untuk seseorang yang jelas-jelas melekat di pikirku juga hatiku.
Ketika aku pernah untuk sebentar saja menghiraukannya, aku juga yang kena getahnya. Aku juga yang menyesalinya, aku juga yang kemudian terperangah.
"Ayah, kok dapurnya sekarang sudah bersih? tadi malam kan Oena belum beresin lho, masih berantakan dapurnya."
"Ayah, pakaian yang Oena jemur di atas, sekarang udah ada di lemari? bersih juga rapi."
"Ayah, halaman depan rumah juga, sekarang udah bersih semuanya."
"Ayah, siapa pelakunya?! yang beresin semuanya?!"
"Coba Oena tanya aja ke Bunda. Pastinya Bunda dong yang beresin semuanya. Kan enggak mungkin ya? kalau Ayah yang beresin semuanya, kan Ayah mah cowok! mana pernah beres-beres."Â Aku jawab saja begitu.
Ya! aku Ayahnya, dia putriku. Aku yang memberinya nama, Bundanya yang melahirkannya. Kan iya, mana bisa aku melahirkan?! aku ini kan laki-laki! eh, maksudku aku ini cowok yang dulu-dulu sempat juga jadi seorang perjaka, hehe.
"Ayaaaahhh... bukan Bunda lho yang beresin semuanya!!" sahut Oena, yang sedikit berlari lalu mendekatiku.
---------------------------------
Quote :
Mengajarkannya, harus cukup bukti. Menyayanginya, semestinya terbukti. Mengasihinya setulus hati, tidak cukup dengan hanya tidak terbukti.