Mohon tunggu...
Awang Praing
Awang Praing Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Teologi UKAW Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penji (Tugu) Kemenangan Umbu Reisi

21 November 2013   16:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:51 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sedang duduk santai di rumah reotku memandang ke sebuah bukit di Praikalumbang. Di sana sebuah penji berdiri kokoh. Penji itu adalah saksi sejarah dari keganasan masa lampau yang terjadi di bumi Sandalwood ini. Saksi akan hilangnya rasa iba dan nurani manusia yang dikuasai oleh kedurjanaan. Saksi dari kejayaan seorang ksatria kejam di masa lalu yang namanya masih menebar terror bagi kami anak cucunya. Siapa yang tidak takut terhadap karma. Karma bisa jatuh kepada siapa saja tidak pandang bulu.

Tak tahu berapa banyak kutuk yang telah dilancarkan kepadanya karena aksi-aksi heroik nya. Ratusan bahkan ribuan kepala sudah melayang di tangan dan parang kesayangannya itu. Parang kesayangannya itu kabarnya di berikan kepada seorang cucunya dan dibawa ke Kupang. Namun parang itu lenyap begitu saja.

Ia tergolong orang yang cerdik. Ia sangat lihai dalam menyusun strategi perang. Pernah suatu kali ia di minta untuk merebut sebuah desa di atas tebing yang dan memiliki pertahanan yang kuat. Banyak orang mencoba untuk merebut desa itu tetapi gagal karena medannya yang tidak memungkinkan. Siapapun yang melewati setapak menuju desa itu pasti akan terlihat dan dengan begitu pasukan desa itu akan bersiap-siap. Umbu Reisi tahu bahwa satu-satu kelemahan mereka adalah bagian belakang kampung yang adalah tebing. Bagian ini tidak dijaga karena penduduk tahu bahwa tidak ada yang bisa melewati tebing di belakangnya. Tetapi rupanya penduduk desa salah. Umbu Reisi menyusun formasi melingkari tebing itu dan dengan rencana sederhana ia memulai misinya. Ia membuat tangga tali dan mengirimkan mata-mata untuk naik lebih dahulu kemudian menautkan tangga tali itu di atas tebing sehingga dapat dipanjat dari bawah. Ketika pasukan mulai naik dan memasuki kampung tidak ada penjaga kampung dan penduduknya yang sadar dan siap, akhirnya dalam hitungan jam seluruh penduduk kampung habis dibantai dan desa pun berhasil dikuasai.

Itu hanya segelintir dari setumpuk kisah keberhasilan (baca: kekejaman) Umbu Reisi. Dalam setiap perangnya ia tidak pernah menyisahkan nyawa kecuali yang ia rasa berharga untuk dijadikan budak dan dijual ke pedagang budak dari Ende dan ditukar dengan makanan babi. Semua orang yang ia temui dalam perang itu, kecuali sekutunya, akan ia penggal kepalanya baik anak-anak maupun orang dewasa. Kepala orang dewasa akan di rangkai dalam untaian tali dan diarak keliling kampung sedangkan kepala anak-anak ditumbuk dengan lesung dan dimasukan dalam bakul.

Dalam perang antar kerajaan, Umbu Reisi selalu mendapat kepala terbanyak untuk dibawa pulang dan diarak keliling kampung. Nama Umbu Reisi bukanlah nama aslinya tetapi gelar yang ia dapat karena jumlah kepala yang berhasil ia potong dalam perang. Umbu Reisi memang kaborang sejati. Kecerdasannya dalam mengatur strategi perang membuat kemenangan hampir selalu pasti ditangannya. Adik Umbu Raisi pun mampu menerobos tembok benteng Belanda dan membunuh perwira sekaligus pasukan yang ada dalam benteng itu. Suatu keberhasilan yang sangat pasti.

Banyak orang ingin menuntut Umbu Reisi, tetapi apa daya ia dilindungi oleh panji kerajaan dan pasukannya, serta otaknya yang jenius. Mata-matanya tersebar di seluruh pelosok Sumba. Siapa yang berani merencenakan kudeta terhadapnya? Itu sama dengan bunuh diri. Ia bukan hanya disegani oleh kawan tetapi juga lawan. Bahkan raja dan keluarganya sekalipun tidak berani angkat muka dengan Umbu Reisi dan pasukannya.

Dengan kewibawaan yang ia punya, Umbu Reisi termasuk orang yang loyal dan setia dengan rajanya. Karena tidak setitikpun keinginan untuk mengkudeta sang raja terlintas dikepalanya. Kemurniannya untuk mengabdi kepada para maramba menjadikannya selalu berada di samping raja dalam keadaan sekelam apapun.

Kematiannya menyisahkan berbagai hal, tergantung relasi orang dengan dirinya. Bagi musuhnya, kematian Umbu Reisi seperti sebuah proklamasi kemerdekaan. Bagi kawannya, kehilangan Umbu Reisi adalah kehilangan panglima terbaik, yang tidak dapat ditukar dengan emas maupun berlian sekalipun.

Banyak orang mengutuk perbuatannya, tetapi tidak banyak juga yang memuji kejayaannya. Aku melihat Umbu Reisi seperti tokoh yang samar-samar ku dengar ceritanya dari anakku, yang kalau tidak salah bernama Gajah Mada. Ya, mungkin Umbu Reisi tidak pernah menyatukan nusantara atau memiliki kerajaan sebesar Negara yang ku tempati sekarang. Tetapi kemampuan perang Gajah Mada dapat kusandingkan dengan Umbu Reisi.

Apapun kata orang tentang Umbu Reisi, bagiku ia tetaplah yang terbaik. Bukannya aku memungkiri sisi terjelek yang ada dalam dirinya. Tetapi tentunya sisi subjektifitas manusia tidak bisa kuhilangkan dari diriku. Sejelek apa pun Umbu Reisi, aku tetap mengasihinya. Di mataku, Umbu Reisi adalah orang yang berwibawa, karena ia adalah ayahku. Ayah yang membesarkanku dan mengasuhku. Penji itu adalah bukti kasih sayang dan penghormatanku kepada ayahku. Aku telah menggerakan semua kawannya untuk mendirikan sebuah penji bagi ayahku, sebagai bukti aku kejayaan masa lalu. Agar ketika generasi dari generasi melihatnya mereka tetap diingatkan tetang ksatria hebat. Biarlah setiap kepala dan pasang mata yang memandang penji itu akan mengingat kemenangan dan kejayaan Umbu Reisi di masa lampau.

Bakul= anyaman dari daun lontar menyerupai bokor.

Kaborang= Ksatria/prajurit/panglima

Maramba=raja/bangsawan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun